Tribunners

Selamat Jalan Profesor Bustami Rahman

Di sela kami saling menimpali, tetiba Bu WR terdiam ketika membaca WA yang mengabarkan berita duka atas berpulangnya Prof Bustami Rahman.

Editor: Fitriadi
Dokumentasi Bangkapos.com
Rektor Universitas Bangka Belitung, Prof Dr Ibrahim. 

Oleh Ibrahim

Rektor Universitas Bangka Belitung 

Sore Senin (17/11/2025) sekira pukul 15.30, saya sedang berbincang dengan Wakil Rektor Bidang Akademik dan Kemahasiswaan, Devi Valeriani, dan Ketua Lembaga Penjaminan Mutu dan Pengembangan Pendidikan (LPMPP), Sujadmi, di ruang tamu Rektorat, mengambil posisi duduk persis di bawah foto Rektor pertama UBB, Profesor Bustami Rahman.

Di sela kami saling menimpali, tetiba Bu WR terdiam ketika membaca WA yang mengabarkan berita duka atas berpulangnya Prof. 

Ya, kami memang terbiasa hanya memanggilnya dengan sebutan singkat: Prof. Lebih kurang 13 tahun beliau menjadi satu-satunya Profesor yang dimiliki oleh UBB sebelum kami, anak didik akademiknya, satu persatu berhasil mengikuti jejak beliau, perdana saya pada penghujung 2022, disusul Prof Eries, dan terakhir baru saja Prof Dwi. 

Pertemuan kami sore itu berubah menjadi kepanikan, beberapa staf kesekretariatan berteriak kecil di luar, rupanya berita duka cita menyebar dengan cepat.

Air mata tak terbendung, begitu keluar ruangan, beberapa mata berkaca-kaca dengan kepanikan yang sama berseliweran.

Saya sendiri, dengan lirih segera meminta diupayakan tiket untuk terbang ke Tanah Jogja, Negeri Sri Sultan, Bumi Jawa, tempat meninggalnya Prof Bustami. Beruntung, maskapai sore hari masih  memberi kesempatan.

Meski di urutan penumpang terakhir menaiki pesawat, saya berhasil boarding dan transit menuju ke Jogja, berangkat untuk memberi penghormatan terakhir, tentu saja mewakili sivitas akademika Universitas Bangka Belitung.

Pada tanggal 27 September 2025, Prof sempat berkirim pesan ke saya, ijin untuk sementara berobat ke Jogjakarta menemani istri yang memang sejak lama rutin kontrol, sembari beliau bilang juga akan kontrol.

Di pesan itu, beliau mengatakan sudah ijin juga ke Dekan dan Ketua Program Studi untuk sementara mengalihkan bimbingan skripsi dan jadwal pengajaran.

Selanjutnya, komunikasi tidak terjalin beberapa waktu karena saat beliau masih aktif sebagai Ketua Dewan Pendidikan Provinsi dan saya sebagai sekretarisnya, beliau beberapa kali mengabarkan kontrol rutin ke Jogja, sekaligus melihat cucu-cucunya yang ada di Jogja. 

Bagi kami, beliau adalah orang Bangka yang ‘Njogjani’, separuh hidupnya, cintanya, pencarian ilmunya, dan karakteri pribadinya adalah bentukan Jogja, separuhnya lagi melekat secara primordial sebagai Putra Belinyu yang berbapak orang Melayu Koba, beribu Tionghoa Merawang, dan cicit Demang Bahmim yang pernah berkuasa di Koba pada masa colonial.

Bagi kami, beliau bukan hanya pendiri UBB yang kini berisi mahasiswa aktif lebih kurang 10 ribu dengan telah lebih dari 8 ribu alumni yang tersebar di berbagai bidang pengabdian itu, tapi juga guru bangsa, guru kampus, guru daerah, tempat kami semua belajar banyak hal.

Ia telah meninggalkan Jember setelah mengabdi lebih kurang 30 tahun disana untuk merintis pendirian UBB ketika banyak kolega beliau mewanti-wanti untuk tidak berharap lebih.

Ia tinggalkan Jawa yang katanya kelak suatu saat akan menjadi halaman belakang karena kita akan menjadikan Laut China Selatan sebagai halaman depan untuk bertarung dengan warga-warga Asia Tenggara lainnya. 

Ia melewati sejarah panjang kampus yang kompleks, mulai dari ijin operasional pendirian kampus, menggalang dukungan pemerintah daerah dan industri, meyakinkan pemerintah pusat, dan tak usah dibilang bagaimana ia gigih memperjuangkan penegerian.

Mimpinya agar Bangka Belitung mandiri dan berdaya dengan sumber daya manusia yang unggul di tingkat daerah adalah hal yang tidak bisa ditawar, status negeri pun diraih UBB pada 2010, sekaligus ia memimpinnya untuk periode awal. Praktis ia menjadi Rektor selama 2006-2016.

Tak cukup disitu, berbagai tantangan awal penegrian ia lewati sembari menyiapkan estafet kepemimpinan bagi kami adik-adiknya.

Ia sadar betul, bahwa usia tak bisa dilawan, maka ia pimpin dan siapkanlah kami semua untuk meneruskan perjuangan beliau.

Namun, tak ingin disebut hanya pendiri dan perintis, ia mantapkan pilihan untuk membuat rumah sederhana di pinggiran Desa Balunijuk sejak ia tak lagi menjabat Rektor pada tahun 2016.

Alih-alih memilih kembali ke Jawa, ia mendedikasikan dirinya untuk menjadi tempat bertanya para warga lokal di rumahnya, sembari menerima mahasiswa bimbingan di pendopo kecil yang ia beri nama ‘pendopo peradaban’ di sebelah rumahnya.

Ia rupanya tak mau disebut melepas kami begitu saja, tetap mengajar, membimbing, mengisi seminar, menjadi Ketua Dewan Pendidikan 10 tahun tanpa menerima gaji, termasuk menjadi Ketua Lembaga Adat Melayu Provinsi menjadi labuhan pilihannya.

Ia nyata menjadi inspirasi bagi kita di daerah untuk terus mengembangkan sektor pendidikan tinggi, tak hanya di UBB, tapi juga bagi kampus lain. Ia adalah role model ‘orang kampung, pulang kampung, membangun kampung’.
 
Baginya, boleh pensiun secara usia, tapi tidak dengan pengabdian.

Usianya nyaris mendekati sepertiga abad, tak ada keluhan sakit selama ini, maka kami terkejut atas kepergiannya.

Mengantarkan sang istri tercinta untuk rutin berobat, ia adalah figur suami yang istimewa.

Kami bersaksi bagaimana tekunnya ia menemani istri kontrol dengan kendaraan yang disopirinya sendiri.

Beberapa hari lalu, bahkan saya sempat titip tanya ke Mbak Vindi, putrinya yang menjadi dosen di FISIP, apakah Prof sudah di Balunijuk atau masih di Jogja karena istri akan menitip mangga manis dari rumah dinas Rektor UBB yang dulu beliau tempati lama. Masih di Jogja, demikian informasi singkatnya saat itu. 

Kepergian beliau menjadi duka mendalam bagi para sivitas.

Tapi kalau boleh jujur, ia tak hanya mewariskan rintisan pendidikan tinggi yang berkelas di daerah, tempat belajar anak bangsa kini dari berbagai provinsi. Tapi juga telah mewariskan teladan perilaku. Mari saya catat sedikit sebagai contoh. 

Saat tak lagi jadi Rektor, beliau kami siapkan ruangan sederhana di FISIP, tempat saya menjadi Dekan saat itu.

Jika saat akan masuk ruangan dan kami sedang berkumpul di meja rapat depan, ia akan mengambil jalan memutar.

Tak ingin mengganggu kami karena ia tahu kami harus berdinamika sendiri.

Nyaris 6 tahun menjadi Dekan, tak berbilang jari di 1 tangan beliau masuk ke ruangan, sekedar untuk menyampaikan masukan-masukan misalnya.

Saat mendaftar sebagai Rektor, beliau turut mendampingi sampai ke meja pendaftaran, namun 6 tahun telah menjabat, ia tak akan datang memberi nasihat kecuali saya  yang datang menghadap meminta pertimbangan. Ia bukan figur pejabat post power syndrom.

Soal kematian, ia sering terkekeh sejak dulu. ‘Kalian ini kan masih takut mati, kalau macam saya sudah siap kapan saja’, begitu kira-kira.

Ia memang berpesan pada kami untuk suatu saat menyiapkan pemakaman keluarga UBB agar kelak orang-orang dapat berziarah pada para ilmuwan kampus dengan mudah.

Namun ia juga berpesan bahwa ia minta dimakamkan dimana tempat beliau meninggal saja, agar tidak merepotkan keluarga dan kerabat yang ditinggalkan.

Saat ini beliau telah pergi, tentu kita semua berduka, tapi ia telah melahirkan penerus-penerus.

Katanya sederhana suatu ketika: saya ingin tenang pergi ketika melihat adik-adik dan anak-anak saya di kampus ini berdaya dan mandiri. 

Prof, kami tahu bahwa usiamu telah dijemput oleh takdir, penciptamu telah menjalankan kesepakatan awal sejak sebelum engkau lahir, tapi kami yakin bahwa jasa dan teladanmu akan terus memancar, memencar, dan mengalir.

Banyak orang dengan beragam cerita akan mengenangmu sebagai orang baik, hebat, dan bersahaja. Maka, seperti epos kepahlawan abang kandungmu Mayor Safrie Rahman, kisah perjuanganmu, kegigihanmu, dan keteladananmu akan terus kami kisahkan.

Selamat jalan Profesor Bustami Rahman, hormat kami sepanjang namamu terkenang!

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved