Tribunners

Guru: Penjaga Api yang Tak Pernah Padam

Dunia mungkin bergerak cepat, tetapi tidak ada peradaban yang tumbuh tanpa guru.

Editor: suhendri
ISTIMEWA
Dr. Erwandy, S.E., M.M. - Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Pangkalpinang 

Oleh : Dr. Erwandy, S.E., M.M. - Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Pangkalpinang

SETIAP kali memasuki sebuah ruang kelas, saya selalu teringat kata-kata J.K. Rowling: “We do not need magic to transform the world; we carry all the power we need inside ourselves already.” Namun dalam dunia pendidikan, kekuatan itu sering kali tidak muncul begitu saja. Ia butuh seseorang yang menyalakan, yang menyentuh hati, membimbing tangan, dan mengarahkan langkah. Seseorang itu adalah guru.

Tanggal 25 November ini, Hari Guru Nasional kembali hadir. Tetapi sesungguhnya, kisah guru adalah kisah yang tak pernah selesai. Mereka hidup dalam senyum yang disembunyikan, air mata yang ditahan, dan harapan yang tidak pernah padam meski dunia sekitar berubah begitu cepat.

Guru, penjaga asa di tengah perubahan

Beberapa tahun terakhir, pendidikan Indonesia menghadapi dinamika kebijakan yang signifikan. Saat kebijakan pendidikan bergeser dari Kurikulum 2013 ke Kurikulum Merdeka, ketika teknologi digital menyapu ruang kelas, dan ekspektasi orang tua makin meninggi, guru menghadapi tantangan yang jauh lebih besar dari sekadar menyiapkan bahan ajar. Mereka menjadi navigator di tengah badai perubahan, penyambung kasih di tengah keterbatasan, dan penjaga moralitas di tengah derasnya arus informasi yang kadang menyesatkan.

Hari Guru Nasional 2025 hadir bukan sekadar sebagai upacara seremonial, tetapi sebagai cermin bagi kita semua, apakah kita sungguh-sungguh menghargai profesi yang menjadi fondasi peradaban ini?

Narasi utama dari seluruh perbincangan tentang pendidikan sesungguhnya sederhana, guru adalah penjaga asa yang menentukan arah masa depan bangsa. Mungkin tidak semua orang menyadari cerita kecil di balik profesi ini. Ada guru yang belajar teknologi sampai dini hari, hanya agar anak-anak bisa menikmati pembelajaran
yang layak. Ada guru yang meminjam laptop tetangga karena sekolahnya belum memiliki perangkat memadai. Ada guru yang menyeberangi laut, memasuki perbukitan, atau berjalan puluhan kilometer demi satu hal, yaitu memastikan tidak ada satu pun anak yang tertinggal. Dan mereka melakukan itu tanpa mengeluh, karena bagi mereka, mengajar bukan pekerjaan. Ini panggilan jiwa.

Realitas guru dan era digital

Tahun ini, pesan nasional Hari Guru menekankan penguatan kompetensi guru, transformasi pembelajaran, serta peningkatan literasi dan numerasi. Data di berbagai daerah menunjukkan tren positif transformasi digital dan pendampingan guru, termasuk pelatihan pembelajaran mendalam (deep learning), yang mengusung prinsip pembelajaran mindful, meaningful, joyful. Namun, capaian itu bukan semata hasil kebijakan. Ini merupakan hasil keringat ribuan guru yang bekerja dalam diam.

Teknologi, artificial intelligence (AI), dan platform pembelajaran memang memberi banyak kemudahan. Pertanyaan yang muncul “ Apakah AI akan menggantikan guru?” Jawabannya Tidak. Karena sekolah bukan pabrik, dan proses mendidik bukan proses mekanis.

Dunia pendidikan bukanlah dunia mesin. Ini adalah dunia hati, dunia karakter, dunia interaksi manusia. Komputer dapat memberi informasi, tetapi guru yang mampu menyalakan keberanian. Platform digital bisa mengajarkan rumus, tetapi guru dapat membaca kegelisahan murid. Dalam setiap algoritma yang lahir hari ini, kita tetap menemukan satu hal yang tak tergantikan yaitu sentuhan manusiawi seorang guru.

Ada hal yang jarang disadari orang, guru bukan hanya mengajarkan pelajaran, mereka membaca luka yang tidak tertulis. Mereka menyembuhkan tanpa stetoskop, membangun mimpi tanpa blueprint, dan menanam nilai tanpa spanduk besar.

Seperti tokoh-tokoh dalam kisah tulisan Tere Liye, guru berjalan tanpa banyak bicara. Mereka tahu jalan itu panjang dan tidak selalu ramah. Namun mereka tetap berjalan, membawa secuil cahaya, bagi generasi yang sering bingung menentukan arah. Mengajar, bagi mereka, adalah bentuk cinta. Tenang, sederhana, tetapi tak pernah padam.

Saatnya kita menyalakan api itu bersama

Di Hari Guru Nasional 2025 ini, marilah kita hentikan langkah sebentar. Ingat wajah guru-guru kita, yang marahnya mendidik, yang nasihatnya masih terngiang, yang tulusnya tak pernah kita balas.

Albert Einstein pernah berkata, “It is the supreme art of the teacher to awaken joy in creative expression and knowledge.” Seni tertinggi dari seorang guru bukan sekadar mengajarkan. Tetapi membangkitkan kegembiraan dalam belajar, keberanian dalam bertanya, dan kepercayaan diri dalam bermimpi. Dan tugas kita? Jangan biarkan api di tangan guru padam. Karena dari nyala kecil itulah masa depan negeri ini diterangi.

Di tengah tren global seperti artificial intelligence, personalisasi pembelajaran, hingga kurikulum berbasis kompetensi, peran guru justru makin krusial. Dunia mungkin bergerak cepat, tetapi tidak ada peradaban yang tumbuh tanpa guru. Maka, di Hari Guru Nasional tahun ini, mari kita rayakan mereka bukan hanya sebagai profesi, tetapi sebagai penjaga peradaban, yang terus menyalakan api kecil di hati setiap generasi.

Karena bangsa yang hebat bukan dibangun oleh gedung megah atau teknologi canggih. Bangsa yang hebat salah satunya dibangun oleh guru,para penjaga api yang tak pernah padam. Selamat Hari Guru Nasional … Guru Hebat, Indonesia Kuat. (*)

Sumber: bangkapos
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved