Berdalih Bantu Skripsi Modus Dosen FISIP Unsri Lecehkan Mahasiswi, Disuruh Bawa Baju Renang ke Hotel

Kasus dugaan pelecehan asusila yang diduga dilakukan oleh seorang dosen FISIP Universitas Sriwijaya (Unsri) ke mahasiswinya mencuat ke publik.

Penulis: Rusaidah | Editor: Rusaidah
Tribunsumsel.com
KAMPUS UNSRI - Kronologi Dosen FISIP Unsri diduga melecehkan mahasiswi dengan dalih disuruh bawa baju renang ke hotel dan bantu skripsi. 

Motif di balik undangan ini belum sepenuhnya terungkap, tetapi jelas menunjukkan adanya ketidakseimbangan kekuasaan dalam relasi dosen dan mahasiswa.

Dinas Pemberdayaan Perempuan segera menyetujui pengumpulan bukti dan langkah administratif awal.

Baca juga: Prestasi Moncer Kolonel Inf Nur Wahyudi, Dari Somalia Bebaskan Sandera ke Lebanon, Kini Danrem Babel

Namun, untuk menjamin transparansi dan keberpihakan kepada korban, BEM KM FISIP UNSRI menginisiasi audiensi dengan dekanat pada Rabu, 24 September 2025. 

Dalam audiensi tersebut, BEM menyampaikan temuan awal dan pentingnya penanganan yang adil, termasuk isolasi sementara terhadap terduga pelaku dari aktivitas akademik demi melindungi korban dan komunitas.

Pada Kamis, 25 September 2025, korban secara pribadi menghadiri audiensi dengan dekanat dan menyampaikan permintaannya secara langsung, termasuk tuntutan konsekuensi hukum dan administratif terhadap terduga pelaku. 

BEM KM FISIP UNSRI juga menggelar kajian dan refleksi damai untuk memperingati kasus ini dengan slogan “Kampus adalah ruang bertumbuh, bukan ruang pelecehan.”

Kajian tersebut menyoroti bahwa pelecehan seksual bukan hanya kejahatan individu, tetapi juga kegagalan sistemik institusi dalam mencegah dan menangani kekerasan berbasis gender.

Meskipun demikian, hingga akhir September 2025 belum ada tanggapan konkret dari pihak dekanat atau manajemen UNSRI. 

Terduga pelaku masih diberikan kebebasan penuh untuk berkeliaran di kampus dan bahkan berpartisipasi dalam kegiatan seminar proposal (sempro), yang secara tidak langsung menormalkan perilaku tidak senonoh dan membahayakan korban serta mahasiswa lain.

Kurangnya transparansi atas penanganan dan tindakan yang dilakukan dari dekanat FISIP UNSRI dan manajemen universitas bukan hanya pelanggaran administratif, tetapi juga bentuk complicity (keterlibatan pasif) yang berpotensi menormalisasi pelecehan seksual di lingkungan akademik.

Kasus ini mencerminkan kegagalan sistemik dalam etika akademik dan perlindungan hak asasi manusia (HAM) di lingkungan FISIP UNSRI. Dekanat wajib mengambil tindakan tegas dalam penanganan terduga pelaku, mengakui kompetensi dan tanggung jawab institusional atas potensi pembiaran kekerasan berbasis gender, serta mereformasi mekanisme perlindungan dan pemulihan bagi korban. 

Hal tersebut wajib dilakukan sesuai regulasi terbaru, yaitu Permendikbudristek Nomor 55 Tahun 2024 yang mensyaratkan setiap perguruan tinggi memiliki sistem pencegahan, penanganan, dan pemulihan dalam kasus kekerasan, termasuk keterlibatan pihak internal dan eksternal, transparansi, dan akuntabilitas. 

Regulasi tambahan berupa Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Pendidikan dan Pelatihan Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Kekerasan Seksual menetapkan bahwa pendidikan dan pelatihan pencegahan kekerasan seksual adalah kewajiban bersama bagi lembaga pendidikan, aparat hukum, dan lembaga layanan. 

BEM KM FISIP UNSRI juga menghadapi tekanan eksternal Kami menuntut penyelidikan independen atas dugaan intervensi ini, karena kampus harus menjadi benteng demokrasi akademik, bukan arena manipulasi informasi.

Implikasi Multidimensi Kasus

1. Implikasi terhadap Korban

Halaman 3/4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved