Kepsek SMK PGRI 2 Ponorogo Terancam 14 Tahun Penjara, Didakwa Korupsi Dana BOS Rp25 Miliar

Kepala Sekolah SMK PGRI 2 Ponorogo, Syamhudi Arifin, didakwa korupsi dana BOS hingga Rp25 miliar sejak 2019.

Penulis: M Zulkodri CC | Editor: M Zulkodri
(KOMPAS.COM/SUKOCO)
Kejaksaan Negeri Ponorogo, Jawa Timur, menetapkan SA, Kepala SMK 2 PGRI Ponorogo, sebagai tersangka dalam kasus dugaan penyimpangan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) periode 2019-2024. 

Berdasarkan hasil Survei Penilaian Integritas (SPI) Pendidikan 2024, ditemukan bahwa 12 persen sekolah di Indonesia menggunakan dana BOS tidak sesuai dengan aturan.

Deputi Bidang Pendidikan dan Peran Serta Masyarakat KPK, Wawan Wardiana, menyebut bahwa survei dilakukan di 36.888 satuan pendidikan dengan melibatkan hampir 450 ribu responden di seluruh Indonesia.

“Masih ada 12 persen sekolah yang menggunakan dana BOS tidak sesuai aturan, 7 persen masih melakukan pungutan, dan 40 persen ditemukan nepotisme dalam pengadaan barang dan jasa,” kata Wawan.

Ia juga menyebut bahwa 47 persen sekolah masih melakukan praktik penggelembungan biaya penggunaan dana BOS, baik untuk pembelian barang maupun pelaksanaan kegiatan.

“Angka ini menunjukkan bahwa tata kelola keuangan pendidikan kita masih harus dibenahi secara serius,” tambahnya.

Kasus di Ponorogo memicu seruan dari masyarakat sipil agar pemerintah memperkuat sistem pengawasan dana BOS.

Banyak pihak menilai perlu adanya audit berkala dan pelaporan terbuka yang bisa diakses publik untuk mencegah penyimpangan.

Organisasi pemerhati pendidikan bahkan mendesak agar pengelolaan dana BOS berbasis digital diperluas.

Dengan sistem digitalisasi keuangan sekolah, potensi manipulasi dan penyalahgunaan dana bisa diminimalkan.

“Selama masih dilakukan manual, peluang kebocoran akan selalu ada,” ujar seorang aktivis pendidikan Ponorogo.

“Sudah saatnya setiap transaksi dana BOS bisa dipantau masyarakat secara real-time.”

Kasus korupsi dana BOS di SMK PGRI 2 Ponorogo menjadi pengingat keras bahwa dana pendidikan adalah amanah yang harus dikelola dengan jujur dan bertanggung jawab.

Uang negara yang seharusnya digunakan untuk memperbaiki kualitas pendidikan justru hilang karena ulah segelintir oknum.

Syamhudi Arifin kini tinggal menunggu putusan majelis hakim.

Namun, bagi dunia pendidikan Indonesia, kasus ini menjadi momentum untuk memperkuat sistem transparansi, memperbaiki mekanisme pengawasan, dan menumbuhkan budaya integritas di semua level satuan pendidikan.

Sumber: Kompas.com/tribun-jatim

Halaman 4/4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved