Menunya Tak Bau, 6 Jam Kemudian Nazwa Siswi SMP Lembang Muntah-muntah

Nazwa menyebut makanan MBG yang ia santap tidak berbau dan rasanya tidak berubah. Gejala mual pusing dan muntah baru terasa enam jam kemudian.

|
Editor: Fitriadi
Tribun Jabar/Nazmi Abdurrahman
SISWA KERACUNAN MBG - Lebih dari seratus siswa menjadi korban keracunan seusai menyantap menu Makan Bergizi Gratis (MBG) di Desa Cibodas, Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat (KBB), Selasa (28/10/2025). Salah satu siswa Kelas IX SMP Negeri 4 Lembang, Nazwa, mengungkap menu MBG yang diduga menjadi penyebab keracunan. 

“Kalau berdasarkan Perpres SPPG melanggar maka SPPG itu bisa ditutup atau diambil tindakan paling enggak diperingatkan,” ungkap dia.

SPPG dalam program MBG dilarang memasak sebelum pukul 12 malam.

Aturan ini ditetapkan oleh Badan Gizi Nasional (BGN) untuk menjaga kualitas dan keamanan makanan yang disajikan.

Aturan Waktu Memasak SPPG

Larangan memasak sebelum pukul 12 malam: SPPG tidak boleh memulai proses memasak menu MBG sebelum tengah malam. Hal ini bertujuan untuk mencegah makanan basi, menjaga higienitas, dan menghindari kelelahan tenaga kerja.

Pembagian shift kerja: SPPG dibagi menjadi tiga shift agar proses memasak dan distribusi berjalan efisien dan sesuai standar.

Jumlah porsi yang dimasak:

-Maksimal 2.000 porsi per hari untuk anak sekolah

-Bisa ditambah menjadi 2.500 porsi jika mencakup ibu hamil, menyusui, dan balita

-Jika ada juru masak bersertifikat, boleh sampai 3.000 porsi

Aturan ini akan dimasukkan dalam Peraturan Presiden (Perpres) tentang tata kelola MBG, yang sedang disiapkan oleh pemerintah untuk memperkuat regulasi dan pengawasan terhadap SPPG

Pakar Sebut Bukan Hanya Masalah Dapur, Tapi Kegagalan Sistemik

Kasus keracunan makanan dari program Makan Bergizi Gratis (MBG) kembali terjadi di sejumlah daerah.

Setiap kali muncul, publik bertanya hal sama, mengapa hal seperti ini bisa terus berulang?

Ahli epidemiologi dan pakar kebijakan kesehatan, Dr. Dicky Budiman, menilai persoalan ini bukan soal kelalaian sesaat di dapur, melainkan masalah mendasar dalam sistem tata kelola pangan nasional.

Menurut Dicky, berulangnya kasus keracunan program MBG mencerminkan kegagalan sistemik di sepanjang rantai pasok pangan.

“Ini intinya bukan satu faktor tunggal, melainkan kegagalan sistemik di sepanjang rantai pasok pangan,” tegas Dicky pada Tribunnews, Rabu (29/10/2025).

Ia menjelaskan, akar masalah dimulai dari tata kelola dan governance yang lemah.

Penunjukan vendor tidak transparan, pengawasan masih parsial, serta minim akuntabilitas independen.

Selain itu, tekanan biaya dan pengadaan bahan makanan murah membuat sanitasi diabaikan.

Dicky menyebut, banyak dapur penyedia makanan program MBG belum memiliki standar kebersihan (hygiene) dan sertifikasi sanitasi yang memadai.

Fasilitas air bersih, alat cuci, penyimpanan suhu aman, hingga pelatihan teknis juru masak masih jauh dari standar.

“Kalau dapur belum punya sertifikat laik hygiene dan sanitasi, itu artinya tidak ada jaminan minimum terhadap keamanan pangan. Ini bahaya,” kata Dicky menegaskan.

Selain itu, sistem pelaporan dan traceability (penelusuran bahan baku) yang lemah membuat sulit mencari sumber keracunan saat insiden terjadi.

“Respons epidemiologis kita lambat, investigasi insiden terhambat, pola penyebab tidak terekam, dan perbaikan tidak sistemik,” jelasnya.

Untuk menghentikan rantai kejadian ini, Dicky menilai pemerintah harus berani melakukan transformasi sistem pengendalian risiko, bukan hanya menegur juru masak atau vendor.

Ia menegaskan, perlu dibangun culture of safety di seluruh lini.

Artinya, pengawasan, sanksi, pelatihan, hingga sistem pelaporan harus berjalan transparan dan berkelanjutan.

“Kalau kita bicara zero accident, itu sulit dan tidak realistis. Tapi zero preventable incident, itu sangat mungkin dicapai dengan sistem yang kuat,” tegasnya.

Dicky mencontohkan, Jepang melalui program makan sekolah Kyuushoku berhasil menekan insiden pangan berkat sistem terintegrasi.

Begitu pula Brazil dan negara-negara Nordik yang mengedepankan kualitas gizi dan pengawasan ketat.

Namun, ia menekankan bahwa Indonesia perlu adaptasi lokal yang sesuai kapasitas sumber daya dan budaya setempat.

“Tidak ada model tunggal yang sempurna, tapi yang pasti kita harus berani berubah. Karena kesehatan anak bangsa tidak bisa dijadikan eksperimen,” tutup Dicky.

(TribunJabar.id/Rahmat Kurniawan/Tribunnews.com, Aisyah Nursyamsi, Rina Ayu Panca Rini)

Sebagian artikel ini telah tayang di TribunJabar.id

https://jabar.tribunnews.com/metro-bandung/1152722/menu-mbg-di-cibodas-bandung-barat-yang-antarkan-nazwa-terbaring-lemas-di-rsud-lembang.

 

Sumber: Tribun Jabar
Halaman 4/4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved