10 Tokoh Dapat Gelar Pahlawan Nasional Keluarga Dapat Tunjangan Rp57 Juta per Tahun & Fasilitas Ini

Keluarga pahlawan nasional selain mendapat penghargaan juga mendapat tunjangan tahunan Rp57 juta serta hak kesejahteraan sesuai Perpres 78/2018.

Penulis: M Zulkodri CC | Editor: M Zulkodri
KOMPAS.com/FIKA NURUL ULYA
Presiden Prabowo Subianto menganugerahkan gelar pahlawan nasional kepada 10 tokoh di Istana Negara, Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Senin (10/11/2025). Mereka berjasa dari berbagai babak sejarah Indonesia 

Selama bekerja di pabrik ini, Marsinah dikenal vokal menyuarakan ketidakadilan dan ketimpangan.

Ia kerap menjadi juru bicara bagi rekan-rekan sesama pekerjanya.

Kasus pembunuhan Marsinah berawal pada 3-4 Mei 1993, saat buruh pabrik pembuatan arloji, PT Catur Putra Surya (CPS), menuntut pemenuhan hak mereka.

Pada 8 Mei 1993, segerombolan anak-anak menemukan menemukan jasad Marsinah terbujur kaku di sebuah gubuk di kawasan hutan Desa Jegong, Kecamatan Wilangan, Nganjuk, Jawa Timur.

Tubuhnya dipenuhi luka dan bersimbah darah, yang mengindikasikan bahwa Marsinah mengalami kekerasan dan penyiksaan sebelum dibunuh.

Setelah itu, kasus pembunuhan Marsinah tidak menemui titik terang dan menjadi salah satu catatan pelanggaran HAM di Indonesia.

4. Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja (Jawa Barat)

Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, S.H., LL.M. lahir di Batavia (Jakarta), 17 Februari 1929.

Mochtar Kusumaatmadja dikenal sebagai akademisi dan diplomat.

Ia pernah menjabat sebagai Menteri Kehakiman dari tahun 1974 sampai 1978 dan Menteri Luar Negeri dari tahun 1978 sampai 1988. 
 
Riwayat perjuangan yang paling menonjol adalah gagasannya tentang konsep negara kepulauan yang digunakan oleh Perdana Menteri RI saat itu, Djuanda Kartawidjaja, dalam Deklarasi Djuanda tahun 1957.

Ia memperjuangkan dan berhasil mengukuhkan Prinsip Negara Kepulauan (Archipelagic State Principle) sebagai hukum laut internasional.

Sehingga perairan di antara pulau-pulau Indonesia diakui sebagai bagian sah dari kedaulatan Indonesia.

Atas kegigihan dan perjuangan diplomatiknya, wilayah laut Indonesia bertambah sekitar 3,7 juta km persegi tanpa perang, menjadikan Indonesia jauh lebih utuh sebagai satu negara.

5. Hajah Rahmah El Yunusiyah (Sumatera Barat)

Rahmah El Yunusiyah adalah seorang reformator pendidikan Islam dan pejuang kemerdekaan Indonesia yang lahir di Padang Panjang dan terkenal sebagai pendiri Diniyah Putri.
 
Rahmah El Yunusiyah lahir pada 29 Desember 1900, di Bukit Surungan, Kecamatan Padang Panjang Barat, Kota Padang Panjang, Sumatera Barat. 

Pada saat remaja, Rahmah El Yunusiyah pernah menikah, tetapi kemudian bercerai. 

Setelah bercerai, Rahmah fokus memperjuangkan cita-citanya untuk menghilangkan diskriminasi yang diterima perempuan, khususnya di bidang pendidikan.
 
Rahmah ingin setiap perempuan mengerti hak dan kewajibannya sebagai anggota masyarakat melalui pendidikan yang layak.
 
Dari pemikiran itulah, Rahmah El Yunusiyah kemudian dikenal sebagai tokoh pendidikan pendiri Diniyah Putri Padang Panjang, madrasah khusus perempuan pertama di Indonesia.
 
Rahmah El Yunusiyah wafat di Padang Panjang pada 26 februari 1969, dalam usia 68 tahun.

Atas jasa-jasanya memperjuangkan hak perempuan di bidang pendidikan serta meningkatkan derajat perempuan di Sumatera pada masa penjajahan Belanda dan Jepang, ia diberi tanda kehormatan Bintang Mahaputra Adipradana.

6. Jenderal TNI (Purn) Sarwo Edhie Wibowo (Jawa Tengah)

Sarwo Edhie berperan dalam penumpasan G30S pada 1965/1966, yang menewaskan tiga juta korban jiwa di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali.
 
Pada era Orde Baru, ia sempat menjadi Duta Besar Indonesia untuk Korea Selatan di Seoul.

Sarwo Edhie adalah ayah dari Ani Yudhoyono yang merupakan istri mantan presiden Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono.
 
Setelah rezim Orde Lama mulai melemah dan digantikan Orde Baru, Soeharto yang menjadi presiden kemudian mengangkat Sarwo Edhie sebagai Panglima Kodam II/Bukit Barisan di Sumatera.
 
Kemudian, pada 1970-an, Sarwo Edhie ditunjuk Soeharto sebagai Gubernur Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (AKABRI) di Magelang.  

Setelah itu, karier Sarwo Edhie perlahan tenggelam hingga akhirnya ia meninggal dunia pada 9 november 1989.

7. Sultan Muhammad Salahuddin (Nusa Tenggara Barat)

Muhammad Salahuddin lahir dan besar di Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB), menjabat sebagai Sultan ke-14 Kesultanan Bima 1915-1951. 

Di tengah arus kolonialisme dan pergolakan politik, Sultan Salahuddin tampil sebagai pemimpin yang visioner, menjunjung tinggi nilai-nilai kebangsaan dan berani mengambil sikap tegas demi kemerdekaan Indonesia.

Kejayaan Kerajaan atau Kesultanan Bima terjadi pada masa pemerintahan sultan terakhir, yaitu Sultan Muhammad Salahuddin. Ia berhasil mengembangkan Islam secara pesat.

Sultan Muhammad Salahuddin juga membangun sejumlah sarana dan prasarana untuk beribadah. Ia juga mengembangkan fungsi ibadah yang menjadi pusat pengkajian ilmu juga agama.
 
Sultan Muhmmad Salahuddin juga mengembangkan pendidikan formal yang dilakukan dengan mendirikan sejumlah madrasah di wilayahnya.

8. Syaikhona Muhammad Kholil (Jawa Timur)

Syekh Kholil adalah ulama yang sangat masyhur di Madura. Dia lahir pada sekitar 25 Mei 1835, atau pada 9 Shafar 1252 Hijriah, di Kemayoran, Bangkalan.

Ia merupakan anak dari pasangan Kiai Hamim dan Syarifah Khodijah.

Syaikhona merupakan salah satu ulama besar yang berperan dalam melawan kolonialisme. 

Kemudian Syaikhona juga disebut berperan mengonstruksi Islam Nusantara.

Santri-santri Syaikhona antara lain para pendiri Nahdlatul Ulama (NU), pendiri pondok pesantren besar di Jawa, termasuk Presiden Pertama RI Soekarno. 

Syaikhona juga disebut kerap menuliskan catatan-catatan yang bersinggungan dengan nasionalisme.

9. Tuan Runda H. Ali Basaragi (Sumatera Utara)

Tokoh perjuangan dari Sumatera Utara ini dikenal karena perlawanan terhadap penjajahan dan perjuangannya menjaga persatuan daerahnya.

Meski informasi historisnya terbatas, perjuangannya diakui sebagai bagian penting dari sejarah kemerdekaan di Sumatera bagian utara.

10. Sultan Zainal Abidin Syah (Maluku Utara)

Zainal Abidin Syah merupakan Sultan Tidore periode 1947-1967. Ia lahir di Soasiu, kota utama Pulau Tidore, Maluku Utara, pada tahun 1912. 

Sultan Zainal Abidin Syah atau Sultan Tidore ke-37 disebut sebagai tokoh pemersatu Wilayah Papua Barat.

Zainal Abidin Syah berperan penting dalam kemerdekaan RI dan mengeratkan NKRI melalui keputusannya yang tegas untuk menyatukan Irian Barat (Papua) ke dalam Indonesia, serta penunjukannya sebagai Gubernur Irian Barat pertama.

Sultan Zainal Abidin Syah kemudian ditetapkan sebagai Gubernur sementara provinsi perjuangan Irian Barat pada tanggal 23 September 1956 di Soa-Sio Tidore (SK Presiden RI No. 142/ Tahun 1956, Tanggal 23 September 1956). 

Selanjutnya sesuai SK Presiden RI No. 220/ Tahun 1961, Tanggal 4 Mei 1962, ia ditetapkan sebagai gubernur tetap Provinsi Irian Barat. 

Sebagai gubernur, Sultan Zainal Abidin Syah diperbantukan pada Operasi Mandala di Makassar (TRIKORA) Perjuangan Pembebasan Irian Barat. 

Ia memegang jabatan Gubernur Irian Barat hingga tahun 1961.

Sultan Zainal Abidin Syah menetap di Ambon hingga wafat pada tanggal 4 Juli 1967.

(Kompas.com/Tribunnews.com/TribunSumsel.com/Bangkapos.com)

Halaman 4/4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved