Tribunners
Mengawal Pemilu Demokratis dan Bermartabat
Peserta pemilu, baik partai politik maupun calon perseorangan yang menjadi bagian dari rivalitas dalam perebutan kekuasaan, perlu ekstra diwaspadai
Oleh: Sarbini - Tim Pemeriksa Daerah (TPD) DKPP RI Unsur Masyarakat Bangka Belitung
TAK dapat dimungkiri bahwa pemilu merupakan arena pertarungan dalam memperoleh kekuasaan yang tidak jarang orang akan menggunakan segala macam cara sehingga potensi konflik sangat terbuka. Jika konflik terjadi, pemilu yang demokratis dan bermartabat yang dicita-citakan menjadi tercoreng sehingga harus menjadi kewaspadaan total dan menjadi tanggung jawab bersama semua pihak, khususnya yang menjadi pilar utama pemilu, yaitu peserta pemilu, pemilih, dan penyelenggara pemilu.
Untuk terwujudnya pemilu demokratis dan bermartabat akan sangat tergantung pada beberapa hal, yakni; 1) Regulasi yang tegas dan jelas, 2) Peserta pemilu yang taat aturan, 3) Pemilih yang cerdas dan partisipatif, 4) Birokrasi yang netral, dan 5) Penyelenggara pemilu yang punya profesionalitas dan integritas. Adanya permohonan pengujian UU, adanya wacana perubahan tahapan dan agenda pemilu dan pilkada, adanya pasal-pasal yang multitafsir dari regulasi penyelenggaraan pemilu adalah celah-celah yang dapat saja menjadi faktor gangguan yang harus diwaspadai, khususnya oleh penyelenggara pemilu dan aparat penegak hukum.
Sebagaimana kita ketahui bahwa pada saat ini masih terus berkembang secara dinamis adanya upaya mengutak-atik regulasi pemilu, sebut saja, antara lain, berupa permohonan uji materiel Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu terkait batas usia capres dan cawapres, yang telah diputus MK tetapi masih terus menyisakan perdebatan dan menjadi blunder yang tak berkesudahan, akibat dinilai sarat kepentingan atau mempermulus pencalonan seseorang, lebih-lebih setelah putusan MKMK bahwa dalam putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 tersebut terjadi pelanggaran kode etik berat sehingga Anwar Usman harus diberhentikan sebagai Ketua MK.
Kemudian masih terus bergulirnya wacana mengubah agenda yang telah ditetapkan, termasuk adanya pasal-pasal dari regulasi yang multitafsir, tentu sedikit banyaknya, langsung tidak langsungnya akan tetap berpengaruh terhadap proses penyelenggaran pemilu, apalagi jika terakumulasi dengan persoalan lainnya, walaupun tentunya KPU tetap harus konsisten melaksanakan tahapan-tahapan pemilu yang sudah ditetapkan.
Peserta pemilu, baik partai politik maupun calon perseorangan yang menjadi bagian dari rivalitas dalam perebutan kekuasaan, perlu ekstra diwaspadai agar tidak menghalalkan segala cara demi memenuhi syahwat kepentingan politiknya. Untuk itu, perlu dicermati dengan baik titik-titik kerawanan pelanggaran oleh peserta pemilu. 
Berdasarkan catatan Bawaslu RI, pelanggaran yang paling dominan dilakukan oleh peserta pemilu adalah; 1) Berkaitan dengan syarat dan verifikasi pencalonan yang tidak sesuai prosedur, 2) Dukungan palsu bagi bakal pasangan calon jalur perseorangan, 3) Pemasangan APK yang tidak sesuai ketentuan, 4) Upaya pemanfaatan fasilitasi anggaran pemerintah untuk kampanye secara terselubung, 5) Dokumen dan atau keterangan palsu syarat kecalonan, 6) Kampanye di tempat-tempat terlarang seperti tempat ibadah atau tempat pendidikan dan lain-lain, 7) Adanya politik uang.
Menurut August Mellaz, Komisioner KPU RI, Pemilu 2024 akan didominasi (sekitar 55 persen) oleh pemilih pemula dan pemilih muda. Ini menjadi tantangan tersendiri bukan hanya menyangkut tingkat partisipasi, tetapi juga potensi pelanggaran dan terkait penentuan pilihan secara cerdas. Mereka perlu dibangun kesadaran pentingnya partisipasi dalam pemilu karena akan menentukan bagaimana perkembangan bangsa dan negara ke depan, mereka perlu dikenalkan bentuk-bentuk dan jenis pelanggaran kode etik maupun ancaman pidana dalam pemilu yang bisa mengenai siapa saja sesuai kedudukannya dalam konteks kepemiluan.
Begitu juga dalam menentukan pilihan, seyogianya mereka harus bisa secara objektif dengan kriteria-kriteria yang jelas dan terukur, tidak subjektif atau sekadar sentimen berdasarkan identitas kedaerahan, kesukuan, keagamaan, gender, dan lain-lain. Apalagi sampai terbawa arus seolah-olah hanya pilihannya yang harus dan pasti jadi dengan mengabaikan kelebihan dan kekurangan pihak lain, dan ujung-ujungnya tidak terima jika ternyata calonnya tidak terpilih. Di sini diperlukan kerja keras semua pihak dalam memberikan pendidikan politik kepada pemilih dalam berbagai bentuk dan tentu lebih-lebih oleh KPU sebagai penyelenggara utama dan partai politik maupun perseorangan sebagai peserta pemilu.
Ketentuan formal dalam bentuk peraturan perundang-undangan dan turunannya, sebenarnya sudah cukup lengkap mengatur netralitas birokrat, bahwa pegawai pemerintah harus bebas dari pengaruh semua golongan atau partai, tidak boleh diskriminatif dalam memberikan pelayanan dan tidak terlibat dalam politik praktis, tetapi nyatanya masih relatif banyak ditemukan berbagai pelanggaran, terutama pada saat pemilihan kepala daerah.
Berdasarkan data dari Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN), pada Pilkada 2020 terdapat 917 pelanggaran netralitas ASN, terdiri atas 484 kasus memberikan dukungan kepada salah satu paslon di media sosial, 150 kasus menghadiri sosialisasi partai politik, 103 kasus melakukan pendekatan ke parpol. Sebanyak 110 kasus mendukung salah satu paslon, dan 70 kepala desa mendukung salah satu paslon. Menurut Bawaslu RI, modus-modus yang seperti ini diperkirakan masih terus akan terjadi pada tahun 2024.
Suatu hal yang tidak boleh dilupakan ketika berbicara tentang birokrasi yang netral bahwa sampai tahun 2024 akan ada 272 penjabat kepala daerah (Pj), baik provinsi maupun kabupaten/kota. Mengapa demikian? Pj punya kewenangan yang sama dengan kepala daerah definitif yang dipilih langsung, sementara Pj adalah ditunjuk Presiden atau Mendagri sehingga sangat dimungkinkan adanya kontrol politik dari atas maupun adanya godaan dari pihak-pihak yang menjadi bagian rivalitas di daerah yang pada akhirnya dalam memformulasikan berbagai kebijakan dapat lebih menguntungkan pihak tertentu dan pada saat yang sama tentu merugikan pihak lain. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Pj sangat rawan dipolitisasi atau lebih tepatnya menjadi alat politik kekuasaan dan apabila Pj sudah terjebak pada ranah politik maka pasti tidak netral dan tentu dampaknya akan sangat luas dibandingkan jika dilakukan oknum pegawai.
Pilar utama berikutnya dalam rangka terwujudnya pemilu yang demokratis dan bermartabat adalah penyelenggara yang punya profesionalitas dan integritas. Profesionalitas adalah hal-hal terkait dengan pengetahuan, wawasan, keterampilan, dan keahlian dalam penyelenggaraan pemilu. Adapun integritas merupakan sikap mental yang menjunjung tinggi kejujuran, keadilan, transparansi ,dan akuntabilitas.
Kumpulan nilai-nilai tersebut dirumuskan menjadi butir-butir kode etik yang harus melekat pada setiap penyelenggara pemilu dan apabila dilanggar maka akan disanksi. Sanksi terhadap penyelenggara pemilu yang melanggar kode etik adalah berupa peringatan tertulis terdiri atas peringatan ringan, peringatan keras, dan peringatan keras terakhir. Pemberhentian sementara sampai pemberhentian tetap sebagai ketua, ketua divisi, atau sebagai anggota.
Kasus pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu masih cukup tinggi. Menurut Ketua DKPP RI Heddy Lugito dalam paparannya pada saat Rakor Persiapan Operasi “Mantap Brata” 2023-2024 bahwa selama kurun waktu Januari-November 2023 saja sudah mendekati angka 300 laporan atau pengaduan dugaan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu yang 80 persen lebih terkait dengan prinsip profesionalitas. Ini berarti kemampuan berupa kapasitas dan mentalitas SDM penyelenggara pemilu harus lebih masif ditingkatkan dan di sisi lain ruang-ruang pelanggaran etik harus diminimalisasi. Jika saja harus mundur ke belakang, patut dipertanyakan juga objektivitas rekrutmen para penyelenggara pemilu, khususnya yang ad hoc dan paling banyak dilaporkan.
Terus bagaimana caranya ikut mengawal dalam konteks ini? Cukup bikin laporan atau pengaduan ke DKPP RI melalui website: dkpp.go.id yang tersedia menu terkait dengan pengaduan di mana ada panduan, ada formulir yang bias diunduh, ada tanda terima, ada info verifikasi, ada nomor telepon khusus terkait dengan pengaduan (phone: 0812-9288-330) maupun call center DKPP RI (: 1500101). (*)

                
												      	
												      	
												      	
												      	
												      	
				
			
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.