Tribunners

Perubahan Syarat Usia Pencalonan Kepala Daerah Atas Putusan Mahkamah Agung

Sejatinya pilkada serentak 2024 ini diharapkan menjadi pilkada yang demokratis, bermartabat, dan berintegritas.

Editor: suhendri
ISTIMEWA
Deni - Mahasiswa Program Magister Administrasi Publik Institut Pahlawan 12 Bangka 

Oleh: Deni - Mahasiswa Program Magister Administrasi Publik Institut Pahlawan 12 Bangka

PERHELATAN pemilihan kepala daerah serentak pada 27 November 2024 makin dekat, penyelenggara pemilu, pemerintah bersama berbagai pemangku kepentingan terus memperkuat koordinasi demi kelancaran penyelenggaraannya. Sistem pilkada serentak tahun 2024 adalah yang kelima kalinya diselenggarakan di Indonesia, sekaligus yang pertama kalinya melibatkan seluruh provinsi, kabupaten/kota di Indonesia.

Pemilihan kepala daerah serentak 2024 akan diikuti sebanyak 545 daerah yaitu 37 provinsi kecuali Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang tidak melaksanakan pemilihan gubernur dan wakil gubernur, kemudian ada 415  kabupaten dan hanya kabupaten administratif Kepulauan Seribu yang tidak melaksanakan pemilihan bupati dan wakil bupati. Sebanyak 93 kota, namun 5 kota administratif di Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta tidak melaksanakan pemilihan wali kota dan wakil wali kota.

Dinamika hukum terkait teknis pelaksanaan tahapan pemilu maupun pilkada sangat sering terjadi di Indonesia. Lebih dari 50 kali undang-undang pemilu telah dilakukan uji materi atau judicial review dilakukan oleh individu maupun kelompok warga negara yang berakhir pada perubahan substansi atas putusan Mahkamah Konstitusi sebagaimana gugatan pemohon. Begitu juga ada Peraturan KPU yang mengatur teknis tahapan pemilu dan pilkada yang secara substansi selaras dengan pengaturan dalam undang-undangnya juga dilakukan judicial review.

Menjelang tahapan pencalonan Pilkada 2024, Mahkamah Agung (MA) juga mengeluarkan putusan nomor 23 P/HUM/2024 yang mengabulkan permohonan hak uji materi (judicial review) Ketua Umum Partai Garda Perubahan Indonesia (Garuda) Ahmad Ridha Sabana tentang aturan batas usia minimal calon kepala daerah yang tertuang dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota. Dalam pertimbangannya, MA menilai bahwa Pasal 4 Ayat (1) huruf d Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota. Seyogianya atas putusan Mahkamah Agung tersebut, KPU yang memiliki kewenangan mengatur teknis tahapan pilkada harus menyesuaikan dengan putusan lembaga tersebut.

Tinjauan Perumusan Kebijakan Publik

Kebijakan publik seperti yang dikatakan Dye (1981) bahwa kebijakan publik adalah semua pilihan atau tindakan yang dilakukan oleh pemerintah, baik untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. Adapun menurut William N. Dunn (2000) kebijakan publik adalah suatu rangkaian pilihan yang saling berhubungan, yang dibuat oleh lembaga atau pejabat pemerintah pada bidang-bidang yang menyangkut tugas pemerintahan seperti pertahanan dan keamanan, energi, kesehatan, pendidikan, kesejahteraan masyarakat, kriminalitas, perkotaan, dan sebagainya.

Thomas R. Dye (1995) mengemukan ada 11 model model perumusan kebijakan, yalni model kelembagaan (institutional), model proses (process), model kelompok (group), model elite, model rasional (rational), model inkremental, model teori permainan (game theory), model pilihan publik (public choice), model demokratis, model pengembangan terpadu (mixed-scanning), dan model strategis.

Dye menyebutkan bahwa model kelembagaan merupakan model kebijakan publik sebagai sebuah tindakan-tindakan yang dilakukan lembaga-lembaga pemerintah. Model kelembagaan biasanya digunakan untuk menelaah proses perumusan kebijakan, yakni digunakan untuk menjelaskan keadaan lembaga pemerintah dan digunakan untuk menganalisis mengapa persoalan yang sama kadang kala diorganisasikan dan diatur oleh beberapa lembaga.

Adapun model inkremental merupakan model kebijakan yang memandang kebijakan sebagai variasi dari kebijakan-kebijakan sebelumnya. Atau kebijakan-kebijakan publik sebagai kelanjutan dari kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah pada masa lampau dengan hanya melakukan perubahan seperlunya. Pendekatan ini diambil ketika pengambil kebijakan berhadapan dengan keterbatasan waktu, ketersediaan informasi, dan kecukupan dana untuk melakukan evaluasi kebijakan secara komprehensif. Model ini memberikan kebijakan tambahan yang baru dengan sedikit memodifikasi kebijakan di masa lalu. Hanya saja kebijakan penambahan (inkremental) ini terkadang tidak mendapatkan dukungan yang memadai.

Kewenangan dalam Meyusun Perubahan Peraturan KPU

Secara teori, kewenangan yang bersumber dari peraturan perundang-undangan diperoleh melalui 3 cara yaitu atribusi, delegasi, dan mandat. Indroharto mengatakan bahwa pada atribusi terjadi pemberian wewenang pemerintahan yang baru oleh suatu ketentuan peraturan perundang-undangan, wewenang pemerintahan dimaksud dibedakan antara lain: a. sebagai organ legislator; di Indonesia pada tingkat pusat adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai pembentuk konstitusi dan Dewan Perwakilan Rakyat bersama Pemerintah sebagai pembentuk undang-undang, dan pada tingkat daerah adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan pemerintah daerah sebagai pembentuk peraturan daerah; dan b. sebagai delegated legislator; seperti Presiden yang berdasarkan pada suatu ketentuan undang-undang mengeluarkan peraturan pemerintah di mana diciptakan wewenang-wewenang pemerintahan kepada badan atau jabatan tata usaha negara tertentu;

Selanjutnya, pada delegasi terjadi pelimpahan suatu wewenang yang telah ada oleh badan atau jabatan tata usaha negara yang telah memperoleh wewenang pemerintahan secara atributif kepada badan atau jabatan tata usaha negara lainnya. Jadi suatu delegasi selalu didahului oleh adanya suatu atribusi wewenang sehingga sebagaimana dimaksud di atas, dapat diambil pengertian bahwa organ-organ pemerintahan harus mendapatkan wewenang atribusi dari pembuat undang-undang, dalam hal ini Dewan Perwakilan Rakyat bersama pemerintah atau perintah langsung dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sebelum menjalankan pemerintahan ataupun untuk membuat peraturan perundang-undangan tidak terkecuali Peraturan KPU.

Terdapat 2 syarat agar Peraturan KPU memiliki kekuatan hukum mengikat sebagai suatu peraturan perundang-undangan, yaitu diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi (dalam hal ini undang-undang) atau dibentuk berdasarkan kewenangan yang dimiliki (atribusi). Wewenang atribusi KPU dalam pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota yaitu selaras dengan Pasal 9 huruf a Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 juga disebutkan bahwa tugas dan wewenang Komisi Pemilihan Umum dalam penyelenggaraan pemilihan, salah satunya adalah menyusun dan menetapkan Peraturan KPU dan pedoman teknis untuk setiap tahapan pemilihan, setelah berkonsultasi dengan DPR dan pemerintah dalam forum rapat dengar pendapat.

Pembahasan

Sumber: bangkapos
Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved