Tribunners

Revisi UU Kepemudaan dan Tantangan Generasi Produktif

Undang-Undang Kepemudaan juga belum sepenuhnya menyesuaikan diri dengan tantangan baru generasi digital.

Editor: suhendri
Dokumentasi Luthfi Amrusi
Luthfi Amrusi, S.H. - Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Pertiba 

Oleh: Luthfi Amrusi, S.H. - Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Pertiba

SETIAP tanggal 28 Oktober, bangsa Indonesia kembali mengenang peristiwa bersejarah yang meneguhkan semangat persatuan, yaitu Sumpah Pemuda 1928. Ikrar yang menyatukan “satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa” bukan sekadar romantika sejarah, tetapi juga merupakan cermin keberanian generasi muda yang menembus sekat perbedaan demi cita-cita kemerdekaan.

Kini, hampir seabad kemudian, semangat itu seolah diuji kembali bukan oleh perbedaan suku, agama, atau bahasa, melainkan oleh batasan usia dalam memahami makna kepemudaan itu sendiri. Pemuda dahulu berjuang dengan pena, organisasi, dan rapat kebangsaan, sementara pemuda masa kini berjuang dengan gagasan, inovasi, dan teknologi digital.

Namun, regulasi yang mengatur ruang gerak mereka belum sepenuhnya beradaptasi dengan perubahan zaman. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2009 tentang Kepemudaan masih menetapkan bahwa pemuda adalah warga negara berusia 16 hingga 30 tahun. Dalam logika hukum, ketentuan itu tampak sederhana dan jelas, namun dalam realitas sosial, batas usia tersebut mulai terasa tidak relevan. Banyak anak muda Indonesia justru menemukan kematangan karier, kepemimpinan, dan tanggung jawab sosial setelah melewati usia 30 tahun.

Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) telah mengusulkan revisi terhadap undang-undang tersebut agar batas usia pemuda diperluas hingga 40 atau bahkan 45 tahun. Usulan ini bukan tanpa alasan. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa kelompok usia produktif di Indonesia kini berada pada rentang 16 hingga 64 tahun. Artinya, pembatasan usia pemuda hanya sampai 30 tahun berpotensi menutup ruang partisipasi hukum bagi jutaan warga yang masih berdaya, kreatif, dan berperan aktif dalam pembangunan bangsa.

Selain itu, Undang-Undang Kepemudaan juga belum sepenuhnya menyesuaikan diri dengan tantangan baru generasi digital. Isu-isu seperti literasi siber, etika bermedia sosial, kewirausahaan kreatif, hingga kepemimpinan digital menjadi bidang baru yang belum secara tegas diakomodasi dalam regulasi yang ada. Dalam konteks tersebut, perlu kiranya kita merenungkan kembali makna sejati kepemudaan.

Menjadi pemuda bukan semata ditentukan oleh angka usia, melainkan oleh semangat untuk terus belajar, berbuat, dan bertanggung jawab bagi masyarakat. Seseorang yang berusia 35 tahun tetapi masih memiliki semangat belajar, berinovasi, dan berjuang untuk kemajuan lingkungannya sejatinya tetaplah “pemuda” dalam makna yang hakiki.

Dua pertanyaan sederhana layak kita renungkan bersama: apakah semangat muda hanya pantas diukur dari usia, atau dari kesediaan untuk terus berkarya dan berkontribusi bagi bangsa? Dan sudahkah hukum kita cukup adaptif dalam memberikan ruang bagi generasi yang tumbuh di tengah arus perubahan sosial dan digital yang begitu cepat?

Revisi Undang-Undang Kepemudaan pada akhirnya bukan hanya soal memperpanjang rentang usia, tetapi tentang bagaimana hukum dapat menyesuaikan diri dengan realitas sosial yang terus bergerak. Saat ini, wacana revisi tersebut bahkan telah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2025–2029, yang menunjukkan adanya kesadaran negara untuk memperbaharui kerangka hukum kepemudaan agar lebih sesuai
dengan tantangan zaman. Pasal 1 ayat (1) perlu dikaji ulang agar tidak membatasi semangat muda hanya karena hitungan tahun.

Pemerintah juga perlu memperkuat pasal-pasal tentang pemberdayaan pemuda agar lebih mencerminkan bentuk partisipasi baru di era modern, mulai dari gerakan sosial berbasis digital, kegiatan kewirausahaan, hingga inovasi berbasis komunitas.

Dalam kerangka negara hukum, regulasi seharusnya menjadi sarana yang menumbuhkan potensi generasi penerus, bukan membatasi mereka. Hukum yang baik bukan hanya menata masa lalu, melainkan juga memberi arah bagi masa depan.

Sumpah Pemuda 1928 mengajarkan bahwa persatuan adalah kekuatan terbesar bangsa ini. Dalam konteks masa kini, revisi Undang-Undang Kepemudaan merupakan wujud nyata dari semangat tersebut upaya menyatukan generasi muda tanpa sekat usia, profesi, maupun latar perjuangan. Sebab sesungguhnya, yang membuat seseorang layak disebut pemuda bukanlah tanggal lahir yang tercatat dalam identitasnya, melainkan api tanggung jawab dan semangatnya untuk menjaga Indonesia tetap berdaulat, berdaya, dan bermartabat di tengah arus perubahan zaman. 

Semangat itu sejalan dengan amanat konstitusi yang menegaskan bahwa setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa serta memajukan kesejahteraan umum sebagai bentuk pengabdian kepada tanah air. (*)

Sumber: bangkapos
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved