Menanti Pahlawan Nasional dari Belitung

BERITA EKSKLUSIF: Jejak Sang Elang Belitung, Timang-timang Hanandjoeddin Jadi Pahlawan Nasional

Sang Elang, menjadi pembuka jalan perjuangan gelar pahlawan untuk Hanandjoeddin. Seorang penerbang militer asal Belitung yang ikut...

|
Bangka Pos
Bangka Pos Hari Ini, Senin (3/11/2025). 

“Beliau itu perwira AURI yang berinovasi dengan memperbaiki pesawat dan melawan dengan giat penjajahan dan membangun kampung halamannya. Itu bentuk nasionalisme yang langka,” katanya.

Diakui Secara De Facto

Elvian juga menceritakan pengalaman pribadinya saat memperjuangkan Depati Amir hingga akhirnya ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional melalui Keputusan Presiden Nomor 123/TK/Tahun 2018.

“Saya mulai mengkaji Depati Amir sejak 2004, dan baru pada 2018 beliau ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional. Empat belas tahun lamanya, dengan tenaga dan biaya sendiri. Saya sampai ke Belanda untuk mencari arsip tentang pembuangannya ke Kupang,” kenangnya.

Menurut Elvian, perjalanan panjang itu menjadi bukti bahwa penetapan Pahlawan Nasional memerlukan ketekunan, kesabaran, dan komitmen ilmiah. Ia berharap ke depan, perjuangan semacam itu bisa menjadi tanggung jawab bersama pemerintah daerah, bukan hanya individu.

“Seharusnya perjuangan seperti itu dilakukan secara sistematis dan institusional. Pemerintah daerah harus punya tim sejarah resmi, bukan hanya menunggu masyarakat yang bergerak,” tegasnya.

Dalam penjelasannya, Elvian membedakan antara pahlawan secara de facto dan de jure. 

“Secara de facto, masyarakat sudah mengakui tokohtokoh seperti Depati Amir, Depati Bahrin, Batin Tikal, dan Raden Keling sebagai pahlawan. Itu terbukti dari penggunaan nama mereka pada bandara, jalan, dan sekolah. Tapi secara de jure, kita tetap butuh pengakuan resmi dari pemerintah melalui SK atau Keppres,” ujarnya.

Ia menilai, penghargaan simbolis seperti penamaan jalan atau bandara belum cukup tanpa upaya serius memperkenalkan sosok di balik nama tersebut.

“Bandara Depati Amir, misalnya. Kenapa tidak dibuatkan patung atau ruang edukasi sejarah di pintu masuknya? Supaya setiap pengunjung tahu siapa sebenarnya Depati Amir dan perjuangannya kemarin cuma peletakan batu saja tetapi tidak dibuatkan patungnya,” katanya.

Tidak hanya itu, Elvian menyinggung hari wafatnya Depati Amir, yaitu 28 September 1869, yang menurutnya selalu luput dari perhatian pemerintah.

“Saya sedih sekali. Gimana penghargaan kita kepada pahawan itu? Padahal bangsa yang besar, itu pesan Bung Karno kan, adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya, memperingati meninggalnya Depati Amir,” imbuhnya.

Karena itu, Elvian berharap pemerintah tidak hanya menghormati para pahlawan dengan nama atau monumen, tetapi juga menghidupkan nilai perjuangan mereka dalam kehidupan masyarakat.

“Jangan hanya sekadar nama di jalan atau bandara. Harus ada kegiatan seperti seminar sejarah, penulisan buku, dan peringatan hari wafat mereka secara resmi,” ungkapnya.

“Kita harus meneladani keberanian dan keikhlasan mereka. Misalnya, Depati Amir berjuang tanpa pamrih, Hanandjoeddin menolak jabatan demi membangun daerahnya. Itu nilai yang harus kita wariskan,” tutupnya. (x1)

 

Sumber: bangkapos
Halaman 3/3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved