Pil Pahit Ridwan Djamaluddin

Namun lagi-lagi jika kita memperdebatkan posisinya, Ridwan Djamaluddin yang merupakan birokrat di Kementerian ESDM adalah pejabat yang justru tak punya beban politik. Ia tak perlu berbuat culas untuk ongkos balas budi atas konstituen yang mengantarkannya di posisinya saat ini.

Lalu apakah diskusi ini harus diakhiri dengan kesimpulan bahwa kita harus mendukung Ridwan Djamaluddin sebagai sosok yang layak menjadi nakhoda Bangka Belitung? Mari kita berpikir cerdas dan memaknai Ridwan Djamaluddin bukan sebagai kata benda, melainkan Ridwan Djamaluddin sebagai kata sifat.

Artinya, dukungan terhadap Ridwan Djamaluddin bukan ditujukan kepada sosok pribadinya, melainkan pada kebijakan yang dilakukannya untuk masa depan Bangka Belitung. Sebagai birokrat yang mendapat mandat alias perintah dari pusat, dia bisa diberhentikan kapan saja. Namun sebagai kebijakan, sebagai sikap maka siapa pun yang nanti akan menggantikan haruslah tegak lurus sebagaimana yang dilakukan.

Sejauh ini, Ridwan Djamaluddin juga tak pernah menunjukkan syahwat politiknya untuk menjadi Gubernur Bangka Belitung, apalagi menjelang usia pensiunnya yang tak lama lagi. Proses penggantian dirinya juga sudah dimulai dengan surat Kemendagri yang meminta rekomendasi dari DPRD Babel untuk mengirim tiga nama calon pengganti Ridwan Djamaluddin.

Barangkali kita juga perlu sedikit jeli melihat tensi yang menghangat di penghujung pengabdian Ridwan Djamaluddin. Arus bawah mulai menunjukkan sikap dengan dukung-mendukung tentang siapa yang layak menggantikan Ridwan Djamaluddin, termasuk sebagian dari mereka yang masih berskenario jabatan Ridwan Djamaluddin masih akan diperpanjang hingga perhelatan pilkada 2024 mendatang.

Kita tak boleh kelelahan hanya terlibat dalam dukung mendukung pada kebijakan yang menjadi prerogatif presiden. Bangka Belitung seharusnya fokus berpikir tentang masa depan Bangka Belitung yang lebih jauh ke depan. (*)