Tribunners

Mendongeng tuk Keluarga: Dari Hanya Tugas Jadi Waktu Berkualitas

Bila pengajar siap membersamai peserta didik dalam proses belajarnya, apresiatif dan motivatif; peserta didik akan makin bersemangat untuk belajar

Editor: suhendri
ISTIMEWA
Kristia Ningsih - Penulis Lepas 

Oleh: Kristia Ningsih - Kristia Ningsih - Penulis Lepas

ANAK-ANAK senang mendengar dongeng. Namun, apakah anak-anak suka mendongeng? Sepertinya belum. Seperti itulah kenyataan dalam pembelajaran bahasa asing. Bukan karena tidak suka, Namun lebih karena masih adanya hambatan ketika berbicara dengan bahasa asing.
Meskipun demikian, pengajaran bahasa asing banyak memakai metode ini. Hal ini disebutkan pada beberapa penelitian di Indonesia: Maylia dkk (2020) di Borneo, Pulau Kalimantan, Susanti (2019) di Blora, Pulau Jawa dan Zuhriyah (2017) di Lampung, Pulau Sumatra.

Mendongeng juga dipraktikkan di luar negeri yang bahasa nasionalnya bukan bahasa Inggris. Contohnya, Afrika (teflcourse.net, 2019) dan Cina (Nguyen, dan duo Stanley, 2014). Sumber di atas rata-rata menyebutkan mendongeng berhasil meningkatkan kemampuan berbicara peserta didiknya.

Lantas, adakah langkah praktis agar peserta didik dapat mendongeng dengan bahasa asing? Tentu saja, mereka harus mendongeng. Namun, pembelajaran dapat dimulai dengan mendongeng dalam bahasa Indonesia. Peserta didik diarahkan menyasar anak kecil sebagai pendengarnya. Kemudian tugas mendongeng harus dilaporkan secara lisan.

Beberapa pertanyaan dapat diberikan untuk mengarahkan pelaporan tersebut. Misalnya seperti: 1) Bagaimana caramu melaksanakan tugas menyampaikan pesan moral? 2) Apa yang telah berhasil kamu lakukan? 3) Adakah yang belum berhasil kamu lakukan? 4) Apa hal penting yang kamu petik dari tugas ini? 5) Apakah tugas ini memberi pengaruh padamu? 6) Adakah yang ingin kamu perbaiki di kesempatan berikutnya?

Peserta didik diminta untuk menunjuk dirinya sendiri sebagai pewawancara maupun pemberi laporan. Setelah selesai, kemudian disusul dengan pasangan baru. Dengan demikian, ada dua kegiatan berbicara selama pembelajaran. Karena masih menggunakan bahasa Indonesia, penonton dalam forum dapat mengerti duo pembicara tersebut.

Secara alami, pewawancara akan terlatih untuk benar-benar menyimak narasumbernya serta antusias merespons sang pembicara. Bahkan tanpa diajarkan, seorang peserta didik mampu bertanya, "Baik, Anthony, bisakah kamu ceritakan bagaimana kamu mendongeng?" Bak pembawa acara televisi.

Selain itu, penontonnya akan mendengar pengalaman yang beragam. Misalnya, ada yang mendongeng dengan lancar, sayangnya fokus pendengarnya terganggu. Ada pula sang adik yang begitu kepo hingga sang pendongeng justru kewalahan menjawab pertanyaan pascamendongeng.

Ada pula peserta didik yang ketika ia mendongeng, tidak hanya diperhatikan oleh adiknya tetapi justru seluruh anggota keluarganya. Tugas mendongeng hari itu menjadi waktu berkualitas bersama keluarga. Bukankah hal ini istimewa?

Umumnya anggota keluarga terlalu sibuk untuk berkumpul meski sedang di rumah. Keluarga ini justru harmonis. Kedua orangtuanya mendukung tugas anaknya dengan perhatian penuh. Tidak hanya pesan moral pada adiknya tersampaikan, kebersamaan keluarga yang begitu langka di zaman ini pun turut terhidupkan.

Bagaimana mereka memilih waktu dan tempat? Ada yang mendongeng di ruang keluarga. Ada yang bercerita sambil mengajak adiknya jalan-jalan. Bahkan ternyata ada yang dapat menarik perhatian sekumpulan anak kecil dari kelompok olahraga sore rutinnya di lapangan basket. Tanpa disadari, peserta didik belajar cara mempersiapkan sebuah pembelajaran kepada anak didiknya.

Begitu masuk pada pertanyaan-pertanyaan refleksi diri, mereka cenderung menemukan makna. Ada yang berkata, "Aku jadi tahu apa yang harus aku hindari saat bersama orang tua pas cerita Malin Kundang."Ada pula yang menyebut, "Kayaknya nanti-nanti aku mau cerita lagi deh sama adikku."

Demikianlah langkah awal untuk mendorong peserta didik agar mampu mendongeng dalam bahasa asing. Tidak ada yang instan, sia-sia atau terlalu lambat pergerakannya. Bila pengajar siap membersamai peserta didik dalam proses belajarnya, apresiatif dan motivatif; peserta didik akan makin bersemangat untuk belajar.

Pengajar harus menekankan proses dalam pembelajaran. Bila peserta didik terbiasa menikmati proses dan senang dengan jatuh bangunnya, pada akhirnya peserta didik akan mengenyam hasil proses tersebut meski kelak mereka sudah tidak dapat membersamai pengajarnya. Hal ini berguna baik secara spesifik dalam pembelajaran bahasa asing maupun pembelajaran lainnya.

Contohnya, akan begitu menggembirakan ketika salah satu dari mereka ada yang berkuliah mengambil program studi bahasa asing yang sama di Universitas Bangka Belitung. Bahkan meski mereka mengambil ilmu komunikasi di Stisipol atau bahasa asing lain di IAIN SAS Babel tetapi bersedia berbagi pengalaman kepada peserta didik saat ini; inilah dampak positif penekanan 'proses' pembelajaran ketimbang 'hasilnya'.

Pada akhirnya, proses akan mengena di hati meski tak berada di tempat yang sama lagi. Belajar bahasa asing sama dengan belajar percaya diri. Sebagai pengajar, mari kita membersamai peserta didik sepenuh hati, mendorong mereka untuk terus belajar mandiri. Seperti pesannya Imam Syafi'i , "Jika kamu tidak sanggup menahan lelahnya belajar maka kamu harus sanggup menahan perihnya kebodohan." (*)

Sumber: bangkapos
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved