Tribunners

Lingkungan Kerja yang Empatik

Bukankah kita akan senang bekerja di tempat yang kondusif dan manusiawi? Maka mulailah dengan empati dan kerendahan hati

Editor: suhendri
ISTIMEWA
Kristia Ningsih - Penulis Lepas 

Oleh: Kristia Ningsih - Penulis Lepas

BERITA guru yang mem-bully guru lainnya mulai tersebar pada 19 Oktober lalu. Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Pangkalpinang pun melakukan mediasi akibat perundungan yang terjadi bertahun lamanya itu. Apa pun penyebabnya, seharusnya hal ini tidak terjadi di lingkungan orang-orang terdidik.

Penekanan pelajaran budi pekerti sepertinya harus kembali digalakkan. Tiap-tiap pimpinan institusi pendidikan mau tidak mau harus memperhatikan lebih cermat apa yang terjadi di bawah kepemimpinannya, baik antarsiswa ataupun antarpegawai.

Secara personal, setelah mengetahui berita di atas, penulis tersadar bahwa pengalaman mengajar penulis dahulu merupakan momen yang langka. Pengalaman itu ialah ketika penulis mengajar di salah satu SMK di Kecamatan Belinyu. Ada tiga aspek yang setidaknya perlu diuraikan.

Pertama, pimpinan memberi contoh empati. Sebagai perbandingan, tak seperti bekerja di bagian back office suatu bank yang terpisah urusan privasi dan kantor; dalam pendidikan, pengajar berkaitan langsung dengan kehidupan pribadi murid. Lebih-lebih ketika guru berurusan dengan ‘siswa bermasalah.

Karena hal ini, seorang pengajar baru dianggap kompeten bila ia berinteraksi dengan murid, orang tua, dan lingkungan masyarakat secara positif. Pengajar adalah seorang yang ‘resek’ dalam makna positif. Jika tidak, dia tidak akan mampu menangani segitiga proses belajar: orang tua-anak didik-lingkungan.

Maka sangat wajar, sebagai pimpinan, kepala sekolah yang juga dahulunya guru, ia mengayomi bawahannya. Lahirlah ide arisan yang hanya formalitas. Setiap bulan bagi pegawai yang hendak bergabung adalah sebesar Rp100.000. Bagi yang tidak mau ikut arisan juga dapat bergabung, dengan sumbangan Rp30.000 per bulan.

Arisan itu kelak diadakan secara bergiliran. Biasanya pertemuan dilaksanakan pada Jumat sore minggu terakhir. Tamu-tamu yang diharapkan adalah para pengajar dan tenaga pendidik bersama pasangan dan anak-anak mereka.Tuan rumah menyambut dengan gembira dengan keuangan yang didapat plus suguhan sesuai kemampuan.

Pemandangan yang terlihat, para pegawai laki-laki mengobrol dengan para suami pegawai wanita. Mereka berkenalan dan bertukar informasi. Seolah-olah ada ‘komunitas bapak-bapak’ setiap pertemuan rutin itu. Ada yang membuka rumah makan, menyewakan tenda, membuka salon, jasa pembersihan lahan dengan alat berat, jasa bangun rumah dan sebagainya. Ada pula pegawai lajang yang ternyata hobinya sama seperti memancing, sepak bola, bahkan fotografi. Tidak jarang, karena pertemuan ini mereka saling memakai jasa bisnis. Jejaring sosial memang banyak gunanya.

Adapun pegawai perempuan menyalami para istri pegawai lelaki. Kemudian mereka bercerita keseharian anak-anak sambil menyuapi mereka. Ada juga yang sibuk mengoper makanan. Tak luput juga para wanita berbagi resep sajian unik tuan rumah hari itu. Misalnya seperti sajian burgo Sumatera Selatan yang mirip lakso yang umum dikenal di Bangka Belitung ataupun kreasi minuman segar yang jarang ditemui. Bersosialisasi juga dapat memperkaya wawasan para ibu-ibu.

Anak-anak menjadi saling kenal dan bertambah temannya. Ketika mereka bertemu di jalan, para bapak dan ibu bertegur sapa pada pasangan teman kerjanya. Yang lebih penting, pertemuan yang seperti ini sama sekali tidak panjang durasinya, hanya 1,5 jam saja. Sebuah ‘nongkrong’ yang patut digalakkan. Sesama pegawai juga menjadi tahu letak rumah sesama pegawainya.

Kedua, pimpinan ringan tangan. Ketika seseorang dirawat inap, dapat dipastikan pimpinan sudah menjenguknya terlebih dahulu. Ini termasuk skala prioritas sosial kepala sekolah. Dengan demikian, bagaimana bisa sesama rekan pegawai akan tutup mata jika contoh sudah di depan mata.

Pada momen seperti itu, gotong royong terkerahkan karena seluruh pegawai menyumbang semampunya untuk si sakit. Kunjungan secara beramai-ramai dan sumbangan ini juga diberikan, pada momen seperti melahirkan, menikah, ataupun berita duka. Penyantunan secara kolektif mencerminkan lingkungan kerja yang solid.

Giliran tiba hari raya, kepala dan wakil kepala sekolah menyiapkan waktu khusus untuk menerima tamu bawahannya. Karena hal ini, duo pasangan petinggi sekolah pun mengenal seluruh bawahan pasangannya. Bahkan, penjaga kantin yang bukan pegawai pun menjadi sasaran jalinan kekeluargaan. Misalnya, ketika sedang ruwah, salah seorang ibu kantin mengundang seluruh pegawai untuk datang. Dengan adanya pertemuan seperti ini, nyaris segala lini terservis kemanusiannya.

Terakhir, pemimpin mampu mendorong munculnya kesadaran untuk mencapai tujuan bersama. Ketika, misalnya mendekati acara besar seperti perlombaan memperingati HUT RI, sekolah mengirim lomba motor hias, maka para pegawai laki-laki rela menginap turut membantu tim penghias. Sebab, sentuhan para ‘putri’ motor hias belum cukup untuk optimalisasi penampilan.

Demikian juga dengan acara perpisahan yang mengundang wali murid. Acara seperti ini cukup serius, para pegawai membagi tugas dan berusaha menyampingkan egonya sebab sadar bahwa kesuksesan acara hanya dapat dicapai jika menunaikan bagian tugas masing-masing.

Dengan kebiasaan-kebiasaan seperti inilah, akhirnya kalaupun ada ketegangan ataupun perbedaan pendapat, konflik dapat diselesaikan di tingkat musyawarah. Memuaskan semua pihak nyaris tidak mungkin terjadi. Namun, bersedia berempati dan didudukkan untuk saling dengar pendapat, masih mungkin dilakukan. Hingga akhirnya, terkadang, bersitegang antarpegawai dapat selesai tanpa harus ‘diselesaikan’ oleh pimpinan. Kalaupun sudah sangat panas, barulah pimpinan bergerak. Dengan demikian, nyaris nol kasus persoalan harus berurusan dengan pihak di luar sekolah.

Inilah hal yang menurut penulis telah berhasil hidup di sekolah tersebut. Ada bapak-bapak guru dan tendik yang saling melepas urat tegang dengan bermain voli setelah kerja bakti di hari Jumat. Ada pegawai perempuan yang beramai-ramai mengupas nanas atau jambu bandar untuk dijadikan rujak untuk dinikmati bersama.

Selain hal ini berguna ketika kecamatan mengadakan lomba peringatan PGRI seperti lomba voli guru, para ibu guru juga bisa berkreasi lomba masak-memasak. Jauh lebih penting, akan muncul rasa saling memaklumi jika ada hal tak mengenakkan di antara pegawai sehingga masalah yang besar pun menjadi kecil.

Hal seperti ini tidak hanya terjadi di lingkungan pendidikan tempat penulis pernah mengajar. Ada banyak instansi lain di daerah Bangka Belitung yang sudah menghidupkan gotong royong dan toleransi ini. Mari kita syukuri dan lebih menimbang kebaikan yang lebih besar ketimbang sekadar perbedaan pendapat yang tidak berarti harus berdebat.

Bukankah kita akan senang bekerja di tempat yang kondusif dan manusiawi? Maka mulailah dengan empati dan kerendahan hati. Hal ini akan mempan bagi siapa saja yang punya hati nurani. (*)

Sumber: bangkapos
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved