Permasalahan Klasik Dari Pembangunan Indonesia, Prof Bustami: Kita Masih Belum Punya Nilai Peradaban
Indonesia saat ini sedang menghadapi tantangan global yang kian kompleks dan semakin dinamis.
Penulis: Gogo Prayoga | Editor: M Ismunadi
"Balik lah lagi kita ke zaman hutan. Bukan berarti nilai-nilai kita jelek, tapi dalam pertumbuhannya itu belum cukup umur. Dibandingkan eropa, mereka sudah ratusan tahun membangun nilai-nilai peradaban tadi. Sedangkan kita waktu baru merdeka, sekolah baru dimulai, baru ada sedikit, masyarakat juga masih belum banyak yang punya pola pikir pendidikan, punya mental peradaban. Makanya banyak terjadi gesekan selama kita menjalankan pemerintahan," ujar Prof Bustami.
Hematnya, perjuangan Indonesia dalam mengusir penjajah rupanya menjadi pisau bermata dua. Di sisi lain membangun nasionalisme, namun di lain sisi ikut membuang nilai-nilai peradaban yang seharusnya menjadi pondasi untuk Indonesia berkembang.
"Memang bagus kita mengusir penjajahan tadi, nasionalisme kita terangkat. Di sisi lain, mereka juga salah karena mengekploitasi kekayaan kita. Tapi dari sudut Civilization (peradaban) sejujurnya itu agak disayangkan, karena nilai-nilai peradaban tadi jadi tidak diturunkan ke kita," tukasnya.
Waktu demi waktu berlalu, namun kata Prof Bustami, Indonesia masih menjadi negara bingung yang tidak tahu bagaimana ingin membangun peradabannya.
"Begitu juga waktu kita reformasi, orang berpikir ini langkah awal untuk kita kembali bangun peradaban. Tapi aslinya kita masih bingung, karena kita tidak membuat apa-apa kecuali kita cuma mau merdeka dari tekanan politik Soeharto waktu itu," tambahnya.
Akibat dari situasi yang tak kunjung selesai ini, kata Prof Bustami, akhirnya kian melanggengkan karakteristik masyarakat Indonesia yang jauh dari nilai peradaban, khususnya untuk menjadi masyarakat maju.
Karakteristik yang kurang baik tersebut, pada akhirnya menjalar ke semua elemen masyarakat dan mengakar di setiap proses aktivitas yang masyarakat Indonesia lakukan.
"Karena peradaban kita tidak berkembang ini, akhirnya impact-nya pada masalah disiplin, masalah kejujuran, korupsi merajalela, kebijakan banyak berubah seenak hati, intinya banyak karakter yang sebenarnya kita ketinggalan jauh dari mereka negara-negara maju. Sedangkan karakter jelek-jelek ini terus kita pertahankan," kata Prof Bustami.
Tak hanya itu, kondisi ini juga membuat perekonomian Indonesia sering mengalami involusi atau pembangunan yang sering turun naik hingga terjadi krisis tak terkendali.
"Pembangunan kita juga sering involusi, maksudnya ekonominya sering turun naik. Tahun 66 jatuh, naik lagi, tahun 74 jatuh lagi, terus naik lagi, terus tahun 98 jatuh lagi. Jadi bagaimana kita mau membangun peradaban kalau situasi kita sering begitu," ujarnya.
Ia mengungkapkan, kondisi tersebut justru tidak terjadi di negara tetangga. Hal ini karena mereka sudah memiliki nilai peradaban yang cukup kuat untuk mendukung pembangunan yang berkelanjutan tersebut.
"Di Singapura dan Malaysia, tidak terjadi pertumbuhan pembangunan yang patah-patah tadi. Mereka justru in line, terus dan perlahan merangkak naik. Karena peradaban masyarakat sudah cukup kuat untuk melaksanakan pemerintahan yang baik," ungkapnya.
Meski memiliki segudang permasalahan, namun Prof Bustami percaya Indonesia masih bisa bangkit dan membangun nilai-nilai peradaban yang ingin dicapai.
Salah satunya adalah dengan mengembalikan wewenang MPR sebagai badan tertinggi negara sekaligus menjadi pelaksana untuk pemilu ke depan.
"Mulailah kita kembali untuk step back, yang ringan-ringan saja dulu. Misalnya, MPR balik ke posisi semula dengan mengamandemen UUD 1945 yang murni. Jadi memegang prinsip supaya pemilu berada di tingkat MPR, bukan di tingkat rakyat lagi. Karena secara SDM, kita belum siap untuk jadi negara demokrasi. Sedangkan demokrasi itu untuk negara yang SDM-nya sudah maju," ungkap Prof Bustami.
| Isu Dana Rp 2,1 Triliun, Dosen UBB Sebut Kredibilitas Fiskal dan Kepercayaan Publik Dipertaruhkan |
|
|---|
| Timah dan Upaya Menambal Kedaulatan Negara yang Bocor di Laut |
|
|---|
| Pembangunan Smelter Timah Babel: Klaim 70 Persen Tenaga Lokal, Manajemen SDM atau Sekadar Angka? |
|
|---|
| Isu Dana Rp2,1 Triliun, Dosen Politik UBB Sebut Momentum Transparansi dan Komunikasi Publik |
|
|---|
| Dana Mengendap, Ekonomi Melambat Jadi Tantangan Fiskal Bangka Belitung |
|
|---|
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/bangka/foto/bank/originals/20240615_Prof_Bustami_Rahman.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.