Resonansi
Sidang Perdana
Sejak 2015 PT Timah tidak lagi melakoni penambangan di darat. PT Timah justru memilih menampung bijih timah hasil penambangan illegal di wilayah IUP
Penulis: Ade Mayasanto | Editor: fitriadi
Ade Mayasanto, S.Pd., M.M.
Editor in Chief Bangka Pos/Pos Belitung
SIDANG perdana kasus dugaan korupsi pengelolaan timah di wilayah izin usaha pertambangan PT Timah Tbk 2015-2022 akhirnya digelar, Rabu (31/7/2024) lalu.
Berlangsung di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, sidang menghadirkan terdakwa tiga mantan Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.
Mereka adalah Suranto Wibowo selaku Kepala Dinas ESDM Bangka Belitung periode Januari 2015 - Maret 2019, Rusbani sebagai Pelaksana Tugas Kepala Dinas ESDM Bangka Belitung periode Maret 2019-Desember 2019, dan Amir Syahbana selaku Kepala Dinas ESDM Kepulauan Bangka Belitung periode Mei 2018-November 2021 dan Plt Kadis ESDM periode Juni 2020-November 2021 dan Kadis ESDM Babel November 2021-2024.
Amir Syahbana dan Suranto Wibowo yang hadir dalam ruang sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta, sementara Rusbani hadir secara daring dari kantor Kejaksaan Negeri Bangka.
Sidang perdana dengan agenda pembacaan dakwaan dipimpin Hakim Ketua Fajar Kusuma Aji didampingi oleh Rios Rahmanto dan Sukartono sebagai hakim anggota.
Jaksa penuntut umum mendakwa mereka telah melawan hukum karena tidak melakukan pembinaan dan pengawasan secara benar terhadap perusahaan-perusahaan smelter.
Ketiganya juga tidak membina dan mengawasi perusahaan tambang yang menambang tidak sesuai dengan Rencana Kerja Anggaran dan Biaya (RKAB) yang telah disetujui.
Suranto dan Amir Syahbana disebut turut menyetujui RKAB milik kelima smelter beserta perusahaan afiliasinya.
Padahal, keduanya mengetahui bahwa isi RKAB tersebut tidak benar dan hanya formalitas.
Lima perusahaan smelter yang dimaksud ialah PT Refined Bangka Tin, CV Venus Inti Perkasa, PT Sariwiguna Binasentosa. PT Stanindo Inti Perkasa. PT Tinindo Internusa, serta beserta para perusahaan afiliasinya.
Dalam sidang pun terungkap bagaimana dugaan korupsi berlangsung dari 2015 hingga 2022.
Disebutkan jaksa, sejak 2015 PT Timah tidak lagi melakoni penambangan di darat. PT Timah justru memilih menampung bijih timah hasil penambangan illegal di wilayah IUP PT Timah.
Demi memuluskan aksi tersebut, PT Timah mengemas melalui program kerja sama mitra jasa penambangan atau pemilik izin usaha jasa pertambangan (IUJP).
Dalam Kerjasama tertuang bahwa kemitraan ditujukan untuk kegiatan jasa penambangan kepada PT Timah.
Nyatanya, PT Timah memberi kesempatan ke pemilik IUJP membeli bijih timah dari penambang illegal sekaligus melakukan penambangan sendiri.
Disebutkan, IUJP ini diterbitkan Gubernur Bangka Belitung berbekal hasil evaluasi dinas ESDM Babel.
Jumlahnya saat itu berkisar 20 hingga 60 perusahaan setiap tahunnya.
Ketika berproses, PT Timah justru tidak menggapai target. Padahal, timah telah menggelontorkan dana tidak sedikit.
Alwin Akbar selaku Direktur Operasi dan produksi PT Timah periode April 2017-Februari 2020 bersama Mochtar Riza Pahlevi (Direktur Utama PT Timah periode 2016-2021) dan Emil Ermindra (Direktur Keuangan PT Timah periode 2016-2020) menggelar persamuhan.
Mereka lalu membuat program peningkatan sisa hasil penambangan demi menggenjot produksi bijih timah.
Caranya, mereka membeli dari penambang. Bisa dari pemilik IUJP atau penambang illegal sekalipun.
Lagi-lagi, lantaran tidak diperkenankan pembelian bijih timah secara langsung dari penambang illegal.
Emil dan Riza Pahlevi membentuk CV Salsabila Utama. PT Timah kemudian diketahui mengeluarkan Rp 986.799.408.690 untuk CV Salsabila Utama.
Upaya meningkatkan produksi bijih timah terus berlanjut.
Jaksa mengungkap fakta lainnya. Pada 2018, Riza Pahlevi menggandeng Alwin Akbar bertemu para pemilik smelter, yakni CV VIP, PT RBT, PT SBS, PT SIP dan PT TIN.
Mereka meminta pemilik smelter swasta memberi bagian bijih timah sebesar lima persen dari kuota ekspor smelter.
Permintaan itu berbekal data bahwa bijih timah smelter swasta berasal dari penambang illegal di wilayah IUP PT Timah.
Atas kebijakan itu, PT Timah menggelontorkan dana sebesar Rp 5.133.498.451.086.
Bahkan, mereka membuat grup dengan sebutan New Smelter demi memantau pengiriman bijih timah ke PT Timah.
Dugaan patgulipat timah tidak berhenti di aksi ini saja.
Riza Pahlevi cs kemudian menggelar pertemuan lainnya perihal kerja sama peralatan penglogaman antara PT Timah dengan PT RBT dan smelter lainnya.
Dalam pertemuan itu, para pemilik smelter membahas soal persetujuan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) ketika pemerintah mengeluarkan keberadaan competent person alias (CPI).
Terancam tidak mendapat persetujuan RKAB, para pemilik smelter mengusulkan PT Timah membuat kesepakatan.
Mereka lalu membentuk perusahaan boneka demi membentuk fakta bahwa pembayaran PT Timah melebihi harga pokok penjualan.
Jaksa menyebut HPP yang semula Rp 738.930.203.450,76 justru membengkak menjadi Rp 3.023.880.421.362,90. Artinya, ada kemahalan biaya sebesar Rp 2.284.950.217.912,14.
Atas itu semua, jaksa lalu mengemukakan Amir Syahbana menerima keuntungan hingga Rp 325 miliar dari perbuatannya melawan hukum dan menyalahgunakan kewenangan.
Sejumlah pihak lain yang memperoleh keuntungan dari perkara dugaan korupsi tata niaga komoditas timah di IUP PT Timah adalah Suparta dari PT Refined Bangka Tin mendapat Rp 4,5 triliun, Tamron alias Aon melalui CV Venus Inti Perkara sebesar Rp 3,6 triliun, dan Robert Indarto melalui PT Sariwiguna Binasentosa sebesar Rp 1,9 triliun.
Kemudian Suwito Gunawan melalui PT Stanindo Inti Perkasa sebanyak Rp 2,2 triliun, Hendry Lie melalui PT Tinindo Internusa sebesar Rp 1,05 triliun, Emil Ermindra melalui CV Salsabila sebanyak Rp 986 miliar, serta Harvey Moeis dan Helena LIm sebesar Rp 420 miliar.
Selain itu, perbuatan para terdakwa juga telah memperkaya sebanyak 375 Mitra Jasa Usaha Pertambangan (pemilik IUJP), di antaranya CV Global Mandiri Jaya, PT Indo Metal Asia, CV Tri Selaras Jaya, PT Agung Dinamika Teknik Utama mencapai Rp 10,3 triliun dan CV Indo Metal Asia dan CV Koperasi Karyawan Mitra Mandiri (KKMM) setidak-tidaknya Rp 4,1 triliun.
Amir Syahbana dan Suranto Wibowo memilih mengajukan eksepsi atau nota keberatan atas dakwaan jaksa penuntut umum.
Sementara Rusbani alias Bani tidak mengajukan eksepsi.
Bani sendiri tidak menjelaskan alasannya tidak mengajukan keberatan.
Hakim Fajar memberi waktu satu minggu untuk terdakwa dan penasihat hukum menyusun eksepsi.
Sederet dakwaan JPU tersebut mengingatkan kembali bahwa dalam hal patgulipat bermula dari ikhtiar.
Sikap dan pikiran lalu dipermak dan kemudian dibungkus propaganda yang berdesak-desakan.
Dalam situasi itu akan ada rayuan dan bisa jadi teror.
Apalagi, ketika aksi mereka berjalan dalam wilayah kuasa.
Ambisi yang ada adalah mengontrol pikiran, perasaan dan orang-orang di sekitar secara penuh.
Namun, ambisi itu nyatanya tidak akan mudah terpenuhi.
Hingga akhirnya rekayasa besar mengalir demi proyek utopia.
Dan ini yang mungkin mencemaskan.
Atau jangan-jangan kita juga tidak perlu khawatir soal rekayasa besar berlandas proyek utopia.
Hingga akhirnya memilih bersandar atas kata-kata, biarkan semua berjalan sesuai waktu hingga akhir tiba. (*)

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.