Tribunners

Pilkada 2024: Demokrasi atau Kapitalisasi Politik? 

Dalam konteks pilkada, kapitalisasi politik terlihat pada fenomena biaya politik yang sangat tinggi

Editor: suhendri
ISTIMEWA
Tian Rahmat, S.Fil. - Alumnus Filsafat IFTK Ledalero, Flores/Pemerhati Isu-isu Strategis 

Kedua, pendidikan politik bagi masyarakat juga perlu ditingkatkan. Pendidikan politik yang baik akan membantu masyarakat memahami pentingnya memilih berdasarkan gagasan dan visi kandidat, bukan sekadar karena iming-iming materi atau pencitraan. Penulis dan aktivis seperti Arundhati Roy dalam Field Notes on Democracy (2009) menekankan pentingnya kesadaran politik bagi masyarakat agar tidak mudah terjebak dalam manipulasi elite.

Ketiga, regulasi mengenai pembiayaan kampanye perlu diperketat. Pemerintah dan lembaga pengawas harus berani menindak tegas praktik politik uang dan pelanggaran kampanye. Tanpa penegakan hukum yang tegas, kapitalisasi politik akan terus mengakar dalam sistem pilkada.

Pilkada: Antara Realitas dan Harapan

Pada akhirnya, Pilkada 2024 membawa kita pada refleksi mendalam tentang masa depan demokrasi Indonesia. Apakah pilkada akan terus menjadi ajang kapitalisasi politik, atau justru mampu menjadi momen pembaruan demokrasi yang sejati? Jawaban atas pertanyaan ini hemat saya tergantung pada komitmen semua pihak, baik dari masyarakat, pemerintah, maupun kandidat itu sendiri.

Winston Churchill pernah berujar, “Demokrasi adalah bentuk pemerintahan yang paling tidak efektif, kecuali jika dibandingkan dengan semua sistem lain yang pernah dicoba sepanjang waktu” (1947).

Demokrasi mungkin memiliki banyak kekurangan, tetapi dengan upaya bersama, kita masih bisa berharap bahwa pilkada tidak hanya menjadi panggung kapitalisasi politik, tetapi juga refleksi kehendak rakyat yang sejati. (*)

Sumber: bangkapos
Halaman 2/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved