Tribunners
Sumpah Pemuda dan Spirit Kebersamaan Melayu Nusantara
Sumpah Pemuda bukan sekadar kenangan sejarah, melainkan janji moral yang harus terus diperbarui di setiap zaman
Ketika Sumpah Pemuda menegaskan satu bangsa dan satu bahasa, ia tidak meniadakan identitas lokal, melainkan merangkulnya dalam kerangka kesetaraan. Bahasa Indonesia, misalnya, dipilih bukan karena ia paling dominan, tetapi karena ia paling inklusif, mudah diterima oleh berbagai suku dan daerah. Pilihan itu bukan keputusan politik semata, melainkan keputusan kultural yang mencerminkan kebijaksanaan Melayu, mencari titik temu di tengah perbedaan.
Spirit inilah yang seharusnya menjadi dasar pembangunan bangsa hari ini. Namun sayangnya, kebijakan publik dan politik identitas kerap berjalan ke arah sebaliknya, menonjolkan perbedaan, bukan mempertemukan. Padahal, dalam logika kebersamaan Melayu, harmoni tidak lahir dari penyeragaman, tetapi dari kesediaan untuk berbagi ruang, rasa, dan makna.
Refleksi moral: menjadi bangsa yang beradab
Sumpah Pemuda bukan sekadar dokumen sejarah, ia adalah cermin moral yang menuntun kita untuk menjadi bangsa yang beradab. Dalam konteks kebangsaan hari ini, beradab berarti mampu menahan diri di tengah provokasi, menghormati perbedaan pendapat, dan memuliakan kemanusiaan di atas kepentingan politik.
Kita hidup di masa di mana teknologi telah memperpendek jarak, tetapi sekaligus memperlebar jurang batin antarwarga. Dalam situasi semacam ini, kebersamaan tidak lagi cukup hanya diucapkan, ia harus dihidupi melalui tindakan nyata, dari cara kita berinteraksi di media sosial, memilih kata, hingga memperlakukan yang lemah.
Sumpah Pemuda mengajarkan bahwa bangsa ini lahir bukan dari kekuatan satu etnis, agama, atau wilayah, tetapi dari keikhlasan untuk berbagi nasib dan masa depan. Kebersamaan Melayu Nusantara adalah warisan yang memberi kita daya tahan kultural luar biasa, dari Aceh hingga Papua, dari Melayu Riau hingga Bugis, semua terikat oleh semangat “serumpun sejiwa”.
Kini, tugas generasi kita adlaah memastikan bahwa semangat itu tidak membeku menjadi slogan, tetapi berdenyut dalam tindakan, dalam kebijakan yang adil, dalam ruang publik yang terbuka, dan dalam media sosial yang beretika. Karena bangsa yang besar bukanlah bangsa yang seragam, melainkan bangsa yang mampu menjadikan perbedaan sebagai sumber kekuatan moral.
Meneruskan ikran pemuda 1928
Ketika para pemuda 1928 mengucapkan sumpahnya, mereka sedang memaknai ulang arti “kita”. Mereka sedang menolak narasi kolonial yang memecah, dan menggantinya dengan narasi kebersamaan yang meneguhkan.
Hari ini, tugas kita adalah meneruskan ikrar itu, bukan hanya dalam upacara, tetapi dalam kesadaran. Spirit kebersamaan Melayu Nusantara menuntun kita untuk melihat Indonesia bukan sebagai sekumpulan individu yang bersaing, melainkan sebagai keluarga besar yang saling menjaga.
Sumpah Pemuda bukan sekadar kenangan sejarah, melainkan janji moral yang harus terus diperbarui di setiap zaman, bahwa di tengah segala perbedaan, kita tetap satu – dalam rasa, dalam jiwa, dan dalam cinta kepada tanah air. (*)

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.