Tribunners

25 Tahun Bangka Belitung, DNA Bangka: Dekonstruksi Identitas Melalui Lensa Historis dan Hegemoni

Masa depan Bangka tidak lagi ditentukan oleh timah di perut bumi, tetapi oleh visi yang kita kumpulkan bersama di dalam hati dan pikiran

|
Editor: Fitriadi
Dokumentasi pribadi Bambang Haryo Suseno
Bambang Haryo Suseno, Pemerhati budaya, tinggal di Mentok, Bangka Barat. 

Ketiga, berbagai etnis pendatang lain yang direkrut untuk proyek kolonial, yang menyumbangkan keragaman dalam budaya lokal. Mereka adalah pelengkap sistem produksi ekstraksi, dengan segala peran dan kontriibusinya.

Orang Bangka hari ini adalah sintesis dari semua lapisan itu. Walaupun saya mencurigai DNA modern yang dominan disepakati hari ini justru berasal dari visi kongsi-kuli Tionghoa dan Kolonial: Ekstraksi dan Akumulasi Kapital.

Seorang "orang Bangka" bisa saja secara darah adalah keturunan Tionghoa Hakka, dibesarkan dalam budaya Melayu pesisir, dan bekerja sebagai PNS. Dengan demikian, DNA Bangka bukanlah satu hal yang tetap, tapi sebuah proses menjadi (a process of becoming)
yang terus berlangsung.

DNA genealogis Bangka adalah DNA orang baru, hasil dari proyek ekonomi global yang mencampurkan berbagai kelompok dalam sebuah melting pot yang dinamis dan pragmatis.

Maka, inilah cermin yang harus kita hadapi. DNA Bangka bukanlah tentang pantai yang indah atau logat yang ceplas-ceplos semata. Ia adalah sebuah dialektika yang belum selesai antara warisan kolonial ekstraktif dan daya juang untuk mendefinisikan diri secara mandiri.

Kita adalah anak-anak dari sebuah eksperimen ekonomi global. Darah kita adalah campuran dari para penambang, petani, dan nelayan yang dihimpun oleh kekuatan kapital.

Pikiran kita dijejali oleh common sense yang mengatakan bahwa kekayaan ada di dalam tanah,
bukan dalam pikiran dan semangat gotong royong kita.

Pertanyaannya kini adalah: Akankah kita terus menjadi objek dari sejarah ekstraksi ini, ataukah kita akan menjadi subjek yang menulis sejarah baru?

Mengenali DNA kita yang sebenarnya adalah langkah pertama untuk membebaskan diri dari jebakan hegemoni.

Masa depan Bangka tidak lagi ditentukan oleh timah di perut bumi, tetapi oleh visi yang kita kumpulkan bersama di dalam hati dan pikiran sebagai sebuah komunitas yang bangkit dari bayang-bayang kolonialisme, menuju kedaulatan yang berkelanjutan.

Sebab fase postkolonialsm itu nyata. Watak kolonial masih terang benderang memaksa dan mengkebiri kesadaran nyata untuk berdaulat.

Kita masih terus percaya dan menerima teori-teori asing untuk menyelesaikan masalah kita sendiri. Masyarakat terbiasa dipandu atas resolusi yang populer tanpa esensi.

Kekuasaan terpusat mengendalikan kebijakan atas daerah secara eksklusif, terlepas dari akar potensi dan masalah daerah. Bali adalah wisata. Yogyakarta adalah museum dan galeri. Bangka adalah tambang Timah. Terlepas dari visi masyarakatnya memandang daerahnya.

Kita bukan hanya pewaris pasir putih dan batu granit. Kita adalah pewaris sebuah pertarungan makna. Dan pertarungan itu dimenangkan bukan dengan mencangkul tanah, melainkan dengan merebut kesadaran.

Bangkai kapal kolonial telah tenggelam, tetapi hantunya masih berkeliaran di lubang-
lubang tambang dan di sudut-sudut pikiran kita.

Hanya dengan mengusir hantu itu kita dapat benar-benar menyandang gelar sebagai Tuan Rumah di Negeri Sendiri. (*)

 

Halaman 3/3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved