Berita Kriminalitas

Kasus ABH Meningkat, Di Pangkalpinang Mayoritas Tindak Pidana Kekerasan dan Asusila

Kasus anak yang berhadapan dengan hukum (ABH) di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung setiap tahunnya  meningkat. 

Penulis: Nurhayati CC | Editor: nurhayati
Bangkapos.com/Andini Dwi Hasanah
Ilustrasi Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH) 

"Apakah ini fenomena ABH ini baru atau memang sebenarnya mempunyai akar dalam kehidupan sosial masyarakat kita? Tindakan kejahatan pada mulanya tidak serta merta 'jatuh dari langit'. 

Dijelaskannya, dalam Teori Belajar Sosial Bandura, sebuah tindakan/ perilaku (behavior) merupakan bentuk kompleks psikis yang melibatkan interaksi antara faktor-faktor personal (personal factors) misalnya: kognisi, afeksi, dan biologis, dengan faktor-faktor lingkungan (environmental factors) semisal: kebiasaan, norma, nilai-nilai keluarga, lingkaran pertemanan, imitasi sosial di media sosial, dan nilai sosial kultural masyarakat. 

"Jadi, suatu tindakan kejahatan dieksekusi oleh subjek anak tidak dapat dikatakan terjadi begitu saja, tanpa sadar.

Melainkan, suatu akumulasi psikis yang terkondisikan sebelumnya (antecedents’ events). Bahwa ada pengetahuan, perasaan, motivasi, model imitasi, kebiasaan respons masalah, serta normalisasi dari lingkungannya dalam suatu tindakan kejahatan yang dilakukan subjek, " benernya. 

Lebih jauh, dia mengatakan secara faktor personal, menurut Erich Fromm dalam karya klasiknya The Anatomy of Human Destructiveness, secara alamiah naluri agresi merupakan bawaan manusia (innate) dalam mempertahankan hidupnya atau kepentingannya.

"Dengan kata lain, naluri agresi ini akan muncul ketika subjek mengalami peristiwa yang dianggap menekan, membuatnya insecure, mengancam kenyamanannya, atau dapat menimbulkan kenikmatan baginya," kata Oktarizal. 

Akan tetapi, tidak semua subjek merespons kejadian dengan interpretasi yang sama. Misalnya, subjek yang mempunyai regulasi diri dan emosi yang baik, efikasi diri yang baik, dapat merespon suatu kejadian yang mengancam secara lebih rasional.

"Contohnya, di setting sekolah, seorang anak yang mempunyai regulasi diri dan emosi yang baik, tidak merespons tindakan bully dengan  tindakan yang sama, melainkan mengabaikannya atau melapor ke pihak sekolah," ungkap Oktarizal.

Ditinjau dari faktor lingkungan sosial kulturanya, anak yang dididik dalam habitus yang sehat, tidak akan membully temannya yang memiliki kekurangan, malah mendukungnya.

"Hal ini tentunya berbeda dengan anak yang diasuh dalam toxic habitus, yaitu suatu struktur kesadaran buruk yang ditanamkan oleh lingkungannya, oleh imitasi media sosialnya," katanya.

Selain bawaan faktor personal dan lingkungan sosial di atas, tindakan kejahatan bermula dari kekerasan verbal maupun psikologis, simbolis yang diproduksi oleh ketimpangan-ketimpangan kekuasan (power).

Kasus-kasus kekerasan yang melibatkan anak, selalu terjadi karena pelaku selalu lebih powerfull dari korban.

Relasi ketimpangan kekuasaan ini jika tidak dikelola dengan baik, akan menjadi sumber potensial tindakan kekerasan, yang akhirnya mengerucut menjadi tindakan kriminal.

Faktor penyumbang lainnya yang memiliki relasi signifikan terhadap kultur kekerasan adalah maskulinitas tradisional, yaitu nilai-nilai kelelakian yang menganggap laki-laki mesti berkelahi, kuat fisik dan macho, tidak boleh nangis.

"Dengan kata lain, anak laki-laki dilarang secara kultural mengekspresikan emosinya. Nilai maskulinitas tradisional ini mendukung secara kultural kepada tindakan kekerasan," ungkap Oktarizal. 

Bourdieu bahkan jauh-jauh hari mensinyalir bahwa akar kekerasan dan kejahatan bersumber dari kekerasan simbolis, yaitu kekerasan yang dialami tanpa korban menyadarinya, misalnya perbedaan selera karena pengaruh kelas dan status sosial. Contohnya, laki-kali dinormalisasi untuk berkelahi, namun perempuan tidak.

"Kekerasan yang berbasis gender kerap muncul dari jenis kekerasan simbolis ini. Dengan demikian, ABH yang terlibat sebagai pelaku, tidak hanya dari faktor personalnya, melainkan juga internalisasi dari lingkungan sosial kulturalnya," katanya.

Penanganan Multilayer-Multidimensional 

Dosen Psikologi Islam, IAIN SAS Bangka Belitung, Oktarizal Drianus memaparkan
berdasarkan Teori ABC-nya Bandura, A (Antecendents) ini termasuk subjek/orang, tempat, peristiwa yang melatarbelakangi suatu perilaku.

B (Behavior) merupakan perilaku dan C (Consequences) merupakan peristiwa atau konsekuensi yang mengikuti perilaku dan mempunyai kemungkinan perubahan perilaku di masa mendatang.

Penanganan berbasis hukum dengan payung UU SPPA di atas mesti terus didukung dan diperbaiki.

"Hal ini mengingat paradigma payung hukum tersebut dalam rangka memberdayakan anak dan perlindungan hak anak.

Akan tetapi, semata-mata mengandalkan perspektif ini saja tidak cukup. Belum lagi konsep “penjara anak” yang terus ditinjau dan dikaji termasuk sistem Pendidikan di dalamnya," katanya.

Dengan kata lain,  tidak hanya sudah puas dengan menyidangkan anak, lantas memenjarakan anak.

Perlu usaha berkelanjutan jangka panjang dan komprehensif. Dari perspektif teori di atas, penanganan dari aspek hukum semata hanya menyasar dan menghukumi B dan C nya saja.

"Desain penanggulangannya mesti menggunakan pendekatan ekologi sosial yang multilayer-multidimensional, pendekatan ini dapat menyasar dimensi A, B, dan C dalam kerangka teoretik Bandura di atas. Multilayer artinya tidak hanya bertumpu pada penanganan hukum saja, melainkan berbagai lapis ranah. Misalnya, di ranah yang paling subjektif yaitu pengasuhan keluarga," katanya.

Relasi intersubjektif antara anak dan orang tua yang penuh kasih sayang, tanpa kekerasan, merupakan modalitas awal menumbuhkan personalitas yang anti-kekerasan. Pada ranah pertemanan dan sekolah, misalnya diterapkan nilai-nilai anti-kekerasan, semisal anti-bully, dan sebagainya yang berkaitan dengan perlindungan hak-hak anak.

Di ranah lembaga keagamaan dan pendidikan, dapat menyemai nilai-nilai moderasi beragama yang lebih mengedepankan kasih sayang, kerjasama, toleransi dan anti-kekerasan. Jelas sekali, penanganan multilayer ini mesti juga mensyaratkan multidimensional.

"Artinya, keterlibatan aktif dan kolaboratif dari berbagai pihak seperti: pemerintah, akademisi, LSM/ NGO, peneliti dan pengabdi, masyarakat dalam program integratif, inter, multi, dan trans-disiplin," katanya.

Hanya menyebut contoh faktual, di Pangkalpinang secara resmi sudah mulai digalakkan Sekolah Ramah Anak (SRA).

SRA ini dapat dioptimalkan menjadi program yang multilayer-multidimensional dapat menumbuhkan pilar-pilar yang memberdayakan hak-hak anak sejak dini.

"Pilar ini nantinya akan menubuh menjadi habitus yang baik. Program SRA ini sebenarnya relate dengan kota ramah anak, dengan jargon “kota beribu senyuman”.

Jargon ini dapat menjadi tagline yang dapat diturunkan menjadi program nyata. Mungkin dapat diperluas menjadi Kelurahan Ramah Anak, atau Desa Ramah Anak," katanya.

Baca juga: Mobil Minibus Tabrak Tiang Listrik di Desa Penyak Bangka Tengah

Baca juga: Mobil Minibus Tabrak Tiang Listrik di Desa Penyak Bangka Tengah

Program-program berbasis ramah anak ini juga dapat menyasar komunitas muda masyarakat seperti pendampingan-pendampingan komunitas sosial secara kultural.

Singkatnya, pendampingan personal profesional, program-program resmi dari pemerintah, dan pendampingan kelompok sosial kultural dapat memperkuat ekologi sosial multilayer-multidimensional yang disebut di atas. 

Dengan demikian, pendekatan-pendekatan sosial kultural jangka panjang yang melibatkan berbagai ranah dan trans-disiplin akan mampu melampaui hukum (beyond the law).

"Melampaui (beyond) bermakna bahwa keadilan restoratif yang menjadi ruh UU SPPA dapat ditopang dan didukung dengan modalitas-modalitas yang lahir dari pendekatan multilayer-multidimensional tersebut. Sehingga akhirnya terstrukturasi sebuah sistem keadilan anak (juvenile justice system)," katanya.

(Bangkapos.com/Cici Nasya Nita/Rizky Irianda Pahlevy/Riki Pratama/Nurhayati) 

Sumber: bangkapos.com
Halaman 4/4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved