Tribunners

Sosio-Kultural pada Tradisi Baume sebagai Penguatan Karakter Murid dalam Implementasi P5

Dalam tradisi ba-ume, masyarakat tidak bekerja sendiri, tetapi bekerja bersama.

Editor: suhendri
ISTIMEWA
Adi Kusumardi, S.T. - Guru SMKN 1 Muntok 

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), tugal adalah tongkat kayu dan lain-lain yang runcing untuk membuat lubang di tanah tempat benih akan ditanam. Dalam tradisi ba-ume juga menggunakan tugal sebagai alat untuk melubangi tanah untuk menanam benih.

Namun, kayu sebagai bahan pembuatan tugal tidak bisa digunakan sembarangan. Kayu yang digunakan oleh masyarakat adalah kayu pelawan, kayu khas dan unik dari Bangka Belitung yang memiliki warna merah mulai dari akar, ranting dan kayu. Selain kuat dan tahan lama, kayu ini juga menjadi ikon bagi kapal tugal Bangka Belitung yang terbuat dari kayu pelawan yang lebih utuh dibandingkan jenis kayu lainnya.

Tidak seperti biasanya, jika masyarakat lain memulai penugalan dari ujung atau pangkal suatu lahan, maka masyarakat Bangka Belitung memulai proses penugalan dari tengah. Tugal pertama atau pemula dilakukan di tengah ume yang dibuat sekitar 1 meter persegi, keempat sudut ditanam ditaber di tengahnya digantung cermin atau kace. Pada saat ritual pemula inilah masyarakat menaburkan pinang dan menyiramkan air yang telah didoakan oleh perangkat desa/tetua desa (dukun desa) dan sesepuh desa. Hal ini dilakukan sebagai ritual tradisional dalam memohon kepada Sang Pencipta untuk mencegah ume dari berbagai gangguan, seperti hama pengganggu, hewan pengganggu, dan sebagainya.

Setelah proses menugal, pada akhir Agustus, ume mendapat curah hujan pertama, di mana benih padi telah tumbuh beberapa sentimeter. Sejak saat itu, masyarakat kembali ke tradisi melestarikan benih dengan cara merumput. Setiap sore masyarakat akan melakukan tradisi pengasapan di setiap sudut ume. Pada dasarnya filosofi pengasapan ini adalah untuk memberikan kabar kepada lingkungan baik hewan, seperti burung, babi, monyet, lutung, serta masyarakat bahwa ume/ladang tersebut ada yang dimiliki dan penghuninya. Kemudian secara fungsional dengan adanya pengasapan maka dapat memberikan bau menyengat pada daun padi sehingga serangga pengganggu tidak suka mendarat di daun, memakan bakal buah dan buah padi dan hama akan menjauh.

Menuai/ngetem padi

Menuai menurut KBBI adalah memotong padi (dengan ani-ani); panen padi. Bagi masyarakat, menuai atau memanen padi adalah proses terakhir ba-ume. Senada dengan ungkapan Atok Sahir, sebagai tetua desa yang unik, memanen padi untuk masyarakat dilakukan dengan tangan kosong dengan menarik dan menyortirnya dari pangkal buah padi sampai ke ujung. Buah beras yang diperoleh dari proses ngetem beras dikumpulkan dalam wadah yang disebut keding. Keding ini merupakan hasil dari anyaman daun lais atau daun pandan yang menyerupai suyak. Kemudian setiap keding yang penuh akan dipindahkan ke tempat yang lebih besar yang disebut lanjung.

Ngetem padi bagi masyarakat hanya dilakukan dengan menggunakan tangan kosong tanpa menggunakan alat. Hal ini dilakukan karena ada begitu banyak penghormatan masyarakat terhadap padi yang dipanen dan akan dimakan sebagai makanan pokok. Karena itu, masyarakat tidak mau menggunakan peralatan tradisional seperti ani-ani, sabit, bahkan mesin.

Bagi masyarakat, menginjak, memukul, merontokkan padi untuk dimakan sama saja dengan tidak menghargai makanan. Dengan kata lain, tidak bersyukur atas makanan yang telah dianugerahkan oleh Yang Maha Kuasa. Untuk mempercepat proses nugal dan ngetem mendapatkan beras, sepangkalan kembali melaksanakan proses besoh atau ganjal.

Besaoh dan ganjal

Dalam tradisi ba-ume, masyarakat tidak bekerja sendiri, tetapi bekerja bersama. Tradisi gotong royong ini dapat dilakukan secara berkelompok yang terdiri atas 2 orang yang disebut besaoh. Adapun gotong royong yang melibatkan lebih dari 2 orang disebut ganjal. Proses besaoh dan ganjal dilakukan secara bergantian untuk masing-masing anggota yang mengikuti kegiatan ini hingga masa rotasi sebanyak mungkin anggota selesai. Jadi ume yang besar bisa diselesaikan dengan bekerja sama tanpa harus membayar banyak uang.

Sudah menjadi kebiasaan masyarakat memiliki ume atau pemilik yang luas yang melibatkan banyak warga, bahkan hingga 20 orang. Beberapa dari anggota ada yang menugal dan beberapa lainnya menabur benih. Beberapa wanita juga menyiapkan berbagai makanan tradisional untuk makan siang saat istirahat. Santapan siang dengan nasi merah dengan lauk lempah darat yang dimasak dengan kayu bakar adalah menu utama yang sangat mewah bagi masyarakat.

Saat terik matahari menguras energi hingga muncul kelelahan, terkadang saat istirahat sejenak, tidak jarang pemuda dan pemudi ikut menampilkan berbagai atraksi seni. Musik tradisional dambus yang diiringi tarian remaja putri terkadang terdengar di tengah hutan belantara untuk melepas penat sejenak. Bahkan untuk para pemuda terkadang mereka melakukan lomba bebiteh (gulat lengan lengan).

Pandangan ekonomis ba-ume

Adalah benar bahwa harga beras merah lebih mahal Rp5.000-Rp6.000 per kilogramnya dibandingkan dengan beras putih. Karena harganya yang mahal maka dahulunya beras ini hanya dikonsumsi oleh warga kelas 1 atau para raja.

Selain harganya yang mahal, kandungan serat beras merah ini juga lebih banyak dibandingkan dengan beras putih sehingga sangat digemari oleh para vegetarian. Hal ini menyatakan bahwa secara ekonomis produksi beras merah dapat dijadikan potensi daerah dalam meningkatkan pendapatan per kapita dan APD.

Sumber: bangkapos
Halaman 2/3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved