Tribunners

Memaknai Ulang Sumpah Pemuda: Mewujudkan Inklusivitas Kebijakan Publik Berbasis Pemuda

Indonesia digdaya dimulai dari pemberdayaan pemudanya di setiap daerah, di setiap sudut negeri ini.

Editor: suhendri
Dokumentasi Irsyadinnas
Irsyadinnas - ASN Belitung Timur 

Oleh: Irsyadinnas - ASN Belitung Timur

SEBUAH kapal tengah berlayar dengan awak yang mayoritas berusia muda, namun kemudi dan peta navigasinya dipegang sepenuhnya oleh nakhoda tua yang enggan mendengar suara anak buahnya. Kapal itu mungkin tetap berlayar, tetapi arah tujuannya belum tentu sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi mereka yang akan menghuni masa depan. Inilah potret paradoks pembangunan di banyak daerah Indonesia.

Data menunjukkan mayoritas penduduk Indonesia berada pada usia produktif, dengan porsi signifikan merupakan kelompok pemuda. Namun, pertanyaannya bukan sekadar berapa banyak pemuda yang kita miliki, melainkan seberapa bermakna keterlibatan mereka dalam menentukan arah pembangunan? Sudahkah kita benar-benar mewujudkan inklusivitas kebijakan publik berbasis pemuda, atau masih terperangkap dalam ilusi partisipasi yang kosong?

Paradoks bonus demografi: antara potensi dan alienasi

Indonesia sedang mengalami fase krusial demografis. Dengan populasi usia produktif yang mencapai lebih dari 60 persen dari total penduduk, negara ini sesungguhnya memiliki modal sosial luar biasa yang disebut ekonom sebagai "bonus demografi". Teori David Bloom dan Jeffrey Williamson menjelaskan bahwa momentum ini memberikan peluang emas untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi. Namun, bonus ini bersifat sementara dan hanya dapat dimanfaatkan jika disertai investasi pada sumber daya manusia dan yang paling krusial: keterlibatan bermakna pemuda dalam proses pengambilan keputusan publik.

Realitas di lapangan menunjukkan paradoks yang memprihatinkan. Pemuda menjadi objek retorika politik yang seksi dalam setiap pidato pembangunan, namun tetap berada di pinggiran proses kebijakan yang sesungguhnya. Sherry Arnstein, dalam teorinya membedakan antara partisipasi autentik dan partisipasi kosong. Banyak praktik pelibatan pemuda masih berada di level "tokenism" atau simbolis—mereka diundang dan hadir, tetapi suara mereka tidak benar-benar memengaruhi keputusan final. Lebih parah lagi, beberapa praktik bahkan hanya berada di level "therapy", di mana partisipasi pemuda sekadar untuk melegitimasi keputusan yang sudah dibuat sebelumnya oleh elite birokrasi.

Kondisi itu menciptakan alienasi generasi muda terhadap proses politik dan kebijakan publik. Robert Putnam memperingatkan bahwa kehilangan kepercayaan dan partisipasi warga, terutama generasi muda, akan mengikis fondasi demokrasi dan menurunkan kualitas pemerintahan. Gejalanya mulai terlihat: rendahnya partisipasi pemuda dalam musrenbang, minimnya keterlibatan dalam organisasi kepemudaan formal, dan migrasi talenta muda ke kota-kota besar atau bahkan ke luar negeri untuk mencari peluang yang lebih baik.

Membongkar struktur eksklusivitas

Untuk memahami mengapa inklusivitas kebijakan berbasis pemuda sulit terwujud, kita perlu membedah akar masalah secara struktural. Pierre Bourdieu, sosiolog Prancis, memperkenalkan konsep "kapital" yang tidak hanya ekonomi, tetapi juga sosial, kultural, dan simbolik. Dalam konteks Indonesia, pemuda menghadapi defisit pada hampir semua jenis kapital ini. Mereka tidak memiliki kapital ekonomi yang cukup untuk mengakses ruang-ruang kekuasaan formal. Kapital sosial mereka terbatas karena jaringan politik masih dikuasai oleh generasi senior yang cenderung patronase.

Kapital kultural mereka—pendidikan, kemampuan berbicara di forum formal, pemahaman tentang birokrasi—sering kali tidak diakui atau dianggap inferior dibanding "pengalaman hidup" generasi tua. Dan yang paling krusial, mereka tidak memiliki kapital simbolik berupa legitimasi dan otoritas untuk berbicara dalam ruang publik.

Struktur eksklusivitas ini diperparah oleh apa yang disebut Michel Foucault sebagai "rezim kebenaran" (regime of truth). Dalam birokrasi dan politik lokal, telah terbentuk rezim kebenaran yang menempatkan pengalaman, senioritas, dan hierarki sebagai sumber legitimasi utama. Pemikiran bahwa "pemuda masih hijau", "belum punya pengalaman", atau "belum waktunya berbicara" adalah manifestasi dari rezim kebenaran ini.

Rezim ini bersifat diskursif dan beroperasi melalui praktik-praktik sehari-hari yang tampak wajar namun sesungguhnya melanggengkan eksklusi. Ketika seorang pemuda berbicara di forum musrenbang dan usulannya diabaikan dengan alasan "belum realistis" tanpa penjelasan lebih lanjut, itu adalah praktik eksklusif yang beroperasi melalui rezim kebenaran yang timpang.

Dari perspektif ekonomi politik, eksklusivitas pemuda juga terkait dengan distribusi sumber daya yang tidak merata. Teori resource mobilization yang dikembangkan dalam studi gerakan sosial menjelaskan bahwa partisipasi politik membutuhkan sumber daya: waktu, uang, keterampilan, dan jaringan.

Pemuda Indonesia, terutama yang berasal dari keluarga ekonomi lemah atau tinggal di daerah terpencil, menghadapi kendala struktural untuk memobilisasi sumber daya ini. Mereka harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup, tidak memiliki akses transportasi untuk menghadiri forum- forum publik, dan tidak memiliki koneksi dengan pengambil keputusan. Struktur ekonomi yang timpang ini menciptakan eksklusivitas berlapis yang tidak bisa diselesaikan hanya dengan "membuka pintu partisipasi" tanpa menyediakan sumber daya yang memadai.

Membaca ulang demokrasi: dari demokrasi prosedural ke substantif

Sumber: bangkapos
Halaman 1/3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved